Saudaraku… seringkali kali kita menjumpai orang-orang di sekitar kita memperebutkan harta warisan orang tua mereka, bahkan terkadang antara dua orang yang bersaudara sampai bermusuhan hanya karena memperebutkan harta warisan. Namun, pernahkah engkau menjumpai mereka memperebutkan warisan para nabi? Sungguh seandainya mereka tahu, sesunggunya warisan para nabi jauh lebih bermanfaat bagi mereka daripada warisan berupa harta dunia yang seringkali mereka perebutkan.
Apa itu warisan Nabi?
Saudaraku.. taukah engkau apa yang dimaksud dengan warisan Nabi?
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ
يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ
أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Begitulah
warisan para nabi wahai saudariku. Warisan mereka bukanlah harta dunia yang
seringkali banyak diperebutkan orang, akan tetapi warisan mereka adalah ilmu.
Dan yang perlu diketahui bahwa ilmu yang diwariskan para nabi hanyalah ilmu
tentang syari’at Allah ‘Azza wa Jalla, dan bukan yang lainnya. Ilmu yang
diturunkan Allah kepada RasulNya berupa keterangan dan petunjuk. Ilmu yang di
dalamnya terkandung pujian dan sanjungan bagi para pemiliknya.
Ada
sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Ath-Thabraani dalam Al Ausath dengan
sanad hasan dari Abu Hurairah, bahwasanya suatu ketika Abu Hurairah melewati
pasar di kota Madinah, lalu beliau berhenti di sana. Beliau berkata, “Wahai
orang-orang yang di pasar, alangkah ruginya kalian!”. Mereka menjawab: “Ada apa
wahai Abu Hurairah?!”. Dia berkata: “Di sana ada warisan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sedang dibagikan, kenapa kalian masih di sini? Kenapa
kalian tidak pergi ke sana mengambil bagian kalian?”. Mereka menjawab: “Di mana
itu?!” Dia berkata: “Di Masjid.”Lalu orang-orang tadi bergegas menuju ke
masjid, sedangkan Abu Hurairah masih tetap menunggu di pasar hingga orang-orang
tadi kembali. Ketika mereka kembali ke pasar Abu Hurairah bertanya kepada
mereka: “Kenapa kalian kembali?” Mereka manjawab: “Wahai Abu Hurairah! Sungguh
kami telah pergi ke masjid dan kami tidak melihat apapun dibagikan di sana!”
kemudian Abu Hurairah bertanya kepada mereka: “Bukankah kalian melihat ada
orang di sana?” Mereka menjawab: “Tentu saja, kami melihat ada sekelompok orang
yang sedang sholat, sekelompok yang lain sedang membaca Al Qur’an, dan
sekelompok yang lain lagi sedang menyebutkan tentang perkara halal dan haram!”
Maka Abu Hurairah berkata kepada mereka: “Sesungguhnya itulah warisan Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam.”
Inilah
yang dimaksud oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan warisan
para nabi, sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham akan
tetapi sesungguhnya mereka mewariskan ilmu. Maka setiap kali seorang hamba
mengambil bagian ilmu yang banyak maka dia telah mengambil bagian warisan
kenabian dengan bagian yang banyak. (Tsamaratul ‘Ilmi Al ‘Amalu)
Keutamaan ilmu syar’i (Ilmu Agama)
Jika
harus menyebutkan keutamaan ilmu syar’i dan pemiliknya, maka sungguh kita akan
menemukan begitu banyak ayat dan hadits yang menyebutkan tentang keutamaannya.
Di antara keutamaan-keutamaan ilmu syar’i antara lain adalah:
- Ilmu adalah warisan para nabi
Hal
ini sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang telah disebutkan di atas, bahwa
para nabi ‘alaihimush-sholaatu wassalam tidak mewariskan dinar dan
dirham, akan tetapi yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Saudariku… sekarang
kita berada pada abad ke 15 hijriyyah, jika engkau adalah seorang ahli ilmu
berarti engkau telah menerima warisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan hal ini adalah sebuah keutamaan yang paling besar. Maka,
tidakkah engkau menginginkannya wahai saudariku yang semoga dirahmati Allah…
- Ilmu itu abadi, sedangkan harta adalah fana (akan sirna)
Contohnya
adalah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia termasuk sahabat yang faqir
sehingga ia pernah terjatuh pingsan karena menahan lapar. Akan tetapi lihatlah
wahai Saudariku, bukankah Engkau melihat nama beliau banyak disebut-sebut
hingga sekarang? Semua itu bukanlah disebabkan karena kekayaan beliau, akan
tetapi semua itu karena ilmu beliau. Lihatlah wahai Saudariku, betapa ilmu itu
akan kekal dan harta itu akan habis.
- Ilmu adalah jalan menuju surga
ومَنْ سَلَكَ طَريقاً يَلتَمِسُ فِيه
عِلماً ، سَهَّلَ الله لَهُ بِهِ طَريقاً إلى الجَنَّةِ
“Barangsiapa
meniti jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju
surga.” (HR. Muslim)
- Ilmu tidak akan membuat lelah pemiliknya dalam menjaganya, karena tempat ilmu adalah di dalam hati, sehingga hal itu tidak membutuhkan kotak khusus ataupun kunci khusus untuk menjaganya.
- Kebaikan seseorang dinilai dari pemahamannya terhadap agamanya
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا
يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang dikehendaki
kebaikan oleh Allah, maka Allah akan membuatnya faham tentang agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
- Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan hidup seorang hamba
Karena
dengan ilmu, seorang hamba akan mengetahui bagaimana seharusnya beribadah
kepada Rabb-nya dan bagaimana cara bergaul dengan sesama hamba-Nya.
Saudariku…
sungguh begitu banyak keutamaan ilmu, tidakkah Engkau ingin meraih keutamaan
dan kemuliaannya? Jika iya, maka bersegeralah!
Hukum mempelajari ilmu syar’i
Allah Ta’ala berfirman
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا
اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka
ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain
Allah dan mohonlah ampunan untuk dosa-dosamu.” (QS. Muhammad: 19)
Allah Ta’ala juga berfirman (artinya),
فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Sepatutnya
ada sekelompok orang dari masing-masing golongan untuk
memperdalampengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila dia telah kembali kepada mereka, supaya mereka dapat
menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)
Dua ayat di atas menunjukkan bahwasanya Allah Ta’ala
mewajibkan kepada hamba-hambaNya untuk mengilmui agama mereka. Dan tidak
diragukan lagi bahwa kemuliaan agama akan tetap ada selagi masih tersisa ilmu
dan para ulama. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda
إِنَّ اللهَ لاَيَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ
مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى
إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اِتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوْا
فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَ أَضَلُّوْا
“Sesungguhnya
Allah tidaklah mencabut ilmu (dalam
riwayat lain: tidaklah menggenggam ilmu) dengan cara mencabutnya dari
dada-dada para ulama, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mematikan
para ulama hingga tidak tersisa satupun orang yang berilmu. Sehingga manusia
akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, kemudian mereka bertanya
kepadanya dan diapun memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka (para pemimpin)
itu sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari). Sungguh agama Islam ini tidaklah
terjaga kecuali karena pertolongan, rahmat dan nikmat dari Allah Ta’ala dan
dengan sebab kesungguhan para sahabat dalam menjaga ilmu yang telah diwariskan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka.(Dhoruurah
At-Tafaqquh fid-diin)
Para
ulama membagi hukum mempelajari ilmu syar’i menjadi dua yaitu fardhu kifayah
dan fardhu ‘ain. Fardhu kifayah yaitu apabila ada orang yang sudah
mempelajarinya maka hukumnya menjadi sunnah bagi yang lainnya. Sedangkan fardhu
‘ain yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap orang islam. Batasan suatu
ilmu dihukumi fardhu ‘ain yaitu ilmu yang dapat menyebabkan akidah seseorang
tidak sah kecuali jika dia memahami ilmu tersebut. Seperti ilmu tentang makna
syahadat, ilmu tentang hakikat Tauhid, ilmu tentang hakikat iman. Selain itu
termasuk juga ilmu yang mencakup tentang ibadah-ibadah wajib yang akan dia
jalankan atau mu’amalah yang akan dia kerjakan, maka dalam keadaan ini dia
wajib mengetahui bagaimana cara melakukan ibadah tersebut dan juga bagaimana
dia melaksanakan mu’amalah tersebut. Seperti seseorang yang akan mengerjakan
sholat, maka dia wajib mempelajari tentang tata cara sholat yang dicontohkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apa saja yang membuat
sholatnya dapat diterima, apa saja yang membatalkan sholat dan lain-lain. Atau
contoh lain dalam perkara mu’amalah adalah jika dia ingin menjadi seorang
pedagang, maka dia wajib mengetahui batasan-batasan syari’at dalam perkara
dagang, sehingga dia tidak terjatuh dalam praktek-praktek perdagangan yang
diharamkan oleh agama seperti jual beli yang mengandung riba.
Adapun
ilmu yang lainnya (yang tidak akan dikerjakan pada saat itu), maka mempelajari
ilmu tersebut tetap dihukumi fardhu kifayah. Dan sudah sepantasnya setiap
pencari ilmu menyadari bahwa dirinya sedang melaksanakan amalan yang hukumnya
fardhu kifayah ketika mencari ilmu agar dia memperoleh pahala mengerjakan
amalan fardhu seraya memperoleh ilmu.
Oleh
karena itu wahai saudariku… bersemangatlah dalam mencari ilmu agama yang mulia
ini, karena sungguh di sana ada begitu banyak keutamaan dan kemuliaan…
Wallahu Ta’ala A’lam bish Showwab
***
Artikel bulletin zuhairah
Penulis: Ummu Zaid Wakhidatul Latifah
Murajaah: Ustadz Adika Minaoki
Penulis: Ummu Zaid Wakhidatul Latifah
Murajaah: Ustadz Adika Minaoki
Referensi:
- Tsamaratul ‘Ilmi Al ‘Amalu, Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al ‘Abbaad, Maktabah Malik Fahd
- Dhoruurah At-Tafaqquh fid-Diin, transkrip ceramah Syaikh Shalih Alu Syaikh, (www.islamspirit.com)
Panduan Lengkap Menuntut Ilmu (Terj. Kitaabul Ilmi), Syaikh Muhammad
bin Shalih Al Utsaimin, Pustaka Ibnu Katsir.
Sumber : www.muslimah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar