Jumat, 25 November 2011

Hanya Satu Nyawa

Generasi Salaf adalah generasi yang luar biasa. Dunia ini tak akan pernah lagi merasakan dan menyaksikan sebuah generasi seperti itu. Hanya sekali saja. Benar, hanya sekali saja ia ditakdirkan menjadi panggung kehidupan sekaligus saksi sejarah untuk sebuah generasi bernama al-Salaf al-Shaleh itu. Sebagaimana ungkapan para ulama, generasi ini dengan manhaj yang menjadi jalan serta pegangan hidupnya telah menyatukan 3 sifat yang tak mungkin terpisahkan satu dengan lainnya. Manhaj Salaf itu a’lam, ahkam dan aslam.

Manhaj Salaf itu a’lam atau paling sesuai dan penuh dengan ilmu, karena seluruh ilmu Islam berasal dari mata air Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengalir melalui anak-anak sungai para Salaf. Jangan pernah mengatakan engkau lebih tahu dari mereka tentang agama ini.

Manhaj Salaf itu ahkam atau paling penuh hikmah, karena hikmah hanya akan lahir dan mengalir dari mata air ilmu yang shahih. Hikmah yang sesungguhnya adalah hikmah yang mengalir dari al-Qur’an dan al-Sunnah.

Manhaj Salaf itu aslam atau paling menyelamatkan, karena mungkinkah seorang selamat di dunia dan akhirat jika ia tidak meniti jalan kebenaran? Dan mungkinkah kita meniti jalan kebenaran jika kita tidak menapaki jejak generasi Salaf?

Itu tadi hanya pengantar. Hanya sekedar mengingatkan. Dan sekedar memberikan alas an kenapa saya tak henti-hentinya mengagumi Generasi Salaf dan manhaj mereka. Dalam tulisan singkat ini, saya ingin mengajak Anda untuk merenungkan kisah seorang ulama salaf yang bernama ‘Abdullah ibn Mutharrif rahimahullah. Kisahnya sangat luar biasa. Kisahnya menunjukkan kepada kita bahwa jika hatimu dipenuhi oleh cahaya al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka jawaban-jawabanmu adalah cahaya!

Suatu ketika, dua orang Khawarij datang menemui ‘Abdullah ibn Mutharrif. Mereka tentu saja membawa misi sangat penting. Mereka ingin mengajak ‘Abdullah untuk “hijrah” mengikuti jalan mereka, Kaum Khawarij. Tidak banyak diskusi. Bahkan nyaris tidak ada debat di majlis itu. ‘Abdullah ibn Mutharrif rahimahullah hanya mengatakan kepada mereka-dan renungkanlah kata-kata penuh cahaya ini-:

“Wahai saudara! Seandainya aku memiliki 2 nyawa, maka akan aku izinkan salah satu dari kedua nyawaku itu untuk mengikuti jalan kalian. Jika ternyata jalan kalian adalah jalan yang benar, maka aku akan mengikutkan satu nyawaku lagi dengan kalian. Namun jika ternyata jalan kalian adalah sesat, maka setidaknya aku masih memiliki satu nyawa dan biarlah nyawaku yang pertama itu binasa dan sesat bersama kalian…Tetapi sayang sekali, aku hanya memiliki satu nyawa, dan aku tak mungkin mempertaruhkan nyawa yang hanya satu-satunya ini!”

Dan 2 pria Khawarij itu tak punya kata-kata lagi untuk ‘Abdullah ibn Mutharrif rahimahullah. Mereka pun pergi.

Sahabat…

Bukankah itu adalah kata-kata yang luar biasa?! Dan betapa kita sungguh-sungguh membutuhkan jawaban seperti ini dalam setiap episode dan kisah hidup kita…

Jika suatu ketika, sebuah syubhat pemikiran tiba-tiba saja hinggap di hati kita, mengajak bahkan menarik-narik kita untuk meninggalkan jalan ini, jalan al-Salaf al-Shaleh, maka katakanlah kepada pembawa syubhat itu: “Sayang sekali, aku hanya mempunyai satu nyawa! Tak akan kubiarkan satu-satunya nyawaku ini larut dalam tamasya pemikiranmu yang tak berujung pangkal itu!”

Jika suatu ketika, sebuah bisikan syahwat tiba-tiba menggoda dan mengelus-elus benteng keshalehan kita, maka katakanlah kepada bisikan keji itu: “Maaf-maaf saja…aku hanya mempunyai satu nyawa! Tidak ada yang lain. Maka silahkan kau pergi dan jangan mengelus-elusku lagi!”

Jika suatu ketika, jiwa ini tergoda untuk malas dan meninggalkan jalan dakwah, jalan tarbiyah, dan jalan keshalehan, maka ingatlah jiwa ini: “Duhai jiwaku…nyawaku hanya satu. Bantulah aku untuk tetap semangat menapaki tangga-tangga penghambaan ini, hingga kelak kita menikmati rehat yang sesungguhnya di dalam Jannah.”

Subhanallah, betapa jawaban ‘Abdullah ibn Mutharrif itu dapat menjadi inspirasi luar biasa untuk kita dalam menerabas semua kesia-siaan hidup. Ya, karena memang hanya ada satu nyawa. Tidak dua. Tidak pula seribu. Hanya satu nyawa.

Sumber : Abul Miqdad
Baca lagi...

Minggu, 13 November 2011

Agama Mirip Islam.....

Agama KOS (Kristen Ortodoks Syiria) Mirip - Mirip Islam....... lihat disini Baca lagi...

Video sebab-sebab naik turunnya keimanan seorang hamba

Bismillahirrahmanirahiim .......


Assalam Alaikum Ya Ikwani Fillah........

Iman adalah nikmat pemberian Allah yang sangat agung yang dimiliki oleh seseorang. Maka Bersyukurlah kita jika Nikmat tersebut terpatri dalam hati kita. semoga Allah Azza wajallah senantiasa menentapkan nikmat iman tersebut sampai kita meninggalkan dunia ini, Insya Allah. Allahumma tsabbit quluubanaa 'ala thaatik.....Aaamiin Yaa Rabb.... agar supaya keimanan tersebut dapat bertahan dalam hati kita maka kita harus memeliharanya dengan senantiasa memberikan siraman-siraman rohani dengan menuntut ilmu syar'i. Diantara hal-hal yang penting untuk kita ketahui terkait dengan keimanan tersebut adalah hendaknya kita mengetahui sebab-sebab bertambah dan berkurangnya keimanan seseorang. Simak Video Penjelasannya Oleh Fadhilatul Ust. Abu Qatadah, Lc di link berikut Part 1 Part 2 Part 3 Part 4 Part 5

Syukran Jazakumullah Khair...

wassalam alaikum........ Baca lagi...

Shalat Sunah Rawatib Ketika Safar

Apakah mengerjakan shalat sunnah rawatib dalam safar dianjurkan, dan bagaimana dengan shalat sunnah yang lain?

Disunnahkan bagi seorang musafir meninggalkan shalat-shalat sunnah rawatib pada shalat dzuhur, maghrib dan isya’. Namun hendaknya ia mengerjakan sunnah fajar (Qobliyah shubuh) mencontoh Nabi SAW dalam hal ini.

Begitu pula shalat tahajjud dan witir di malam hari disyari’atkan bagi seorang musafir, karena Nabi SAW melakukannya. Demikian juga shalat-shalat mutlak yang lain dan shalat-shalat yang memiliki sebab-sebab tertentu, seperti shalat sunnah dhuha, shalat sunah wudhu, shalat gerhana dan tahiyatul masjid. (Menguak Fatwa Syaikh Bin Baz, Pustaka Barokah hal. 150)

dikutip dari : Arrisalah.net

Baca lagi...

Bersabarlah Wahai saudaraku......

Oleh Ustadz Abu Rosyid Ash-Shinkuan

Senang, bahagia, suka cita, sedih, kecewa dan duka adalah sesuatu yang biasa dialami manusia. Ketika mendapatkan sesuatu yang menggembirakan dari kesenangan-kesenangan duniawi maka dia akan senang dan gembira. Sebaliknya ketika tidak mendapatkan apa yang diinginkan maka dia merasa sedih dan kecewa bahkan kadang-kadang sampai putus asa.

Akan tetapi sebenarnya bagi seorang mukmin, semua perkaranya adalah baik. Hal ini diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Sungguh menakjubkan perkaranya orang mukmin. Sesungguhnya semua perkaranya adalah baik dan tidaklah hal ini dimiliki oleh seorangpun kecuali oleh orang mukmin. Jika dia diberi kenikmatan/kesenangan, dia bersyukur maka jadilah ini sebagai kebaikan baginya. Sebaliknya jika dia ditimpa musibah (sesuatu yang tidak menyenangkan), dia bersabar, maka ini juga menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim)

Kriteria Orang yang Paling Mulia
Sesungguhnya kesenangan duniawi seperti harta dan status sosial bukanlah ukuran bagi kemuliaan seseorang. Karena Allah Ta’ala memberikan dunia kepada orang yang dicintai dan orang yang tidak dicintai-Nya. Akan tetapi Allah akan memberikan agama ini hanya kepada orang yang dicintai-Nya. Sehingga ukuran/patokan akan kemuliaan seseorang adalah derajat ketakwaannya. Semakin bertakwa maka dia semakin mulia di sisi Allah.
Allah berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.Al-Hujurat: 13)

Jangan Sedih ketika Tidak Dapat Dunia
Wahai saudaraku, ingatlah bahwa seluruh manusia telah Allah tentukan rizkinya -termasuk juga jodohnya-, ajalnya, amalannya, bahagia atau pun sengsaranya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (air mani) kemudian berbentuk segumpal darah dalam waktu yang sama lalu menjadi segumpal daging dalam waktu yang sama pula. Kemudian diutus seorang malaikat kepadanya lalu ditiupkan ruh padanya dan diperintahkan dengan empat kalimat/perkara: ditentukan rizkinya, ajalnya, amalannya, sengsara atau bahagianya.” (HR. Al-Bukhariy dan Muslim)

Tidaklah sesuatu menimpa pada kita kecuali telah Allah taqdirkan. Allah Ta’ala berfirman:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS.Al-Hadiid: 22-24)

Kalau kita merasa betapa sulitnya mencari penghidupan dan dalam menjalani hidup ini, maka ingatlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tiada suatu amalan pun yang mendekatkan ke surga kecuali aku telah perintahkan kalian dengannya dan tiada suatu amalan pun yang mendekatkan ke neraka kecuali aku telah larang kalian darinya. Sungguh salah seorang di antara kalian tidak akan lambat rizkinya. Sesungguhnya Jibril telah menyampaikan pada hatiku bahwa salah seorang dari kalian tidak akan keluar dari dunia (meninggal dunia) sampai disempurnakan rizkinya. Maka bertakwalah kepada Allah wahai manusia dan perbaguslah dalam mencari rizki. Maka apabila salah seorang di antara kalian merasa/menganggap bahwa rizkinya lambat maka janganlah mencarinya dengan bermaksiat kepada Allah karena sesungguhnya keutamaan/karunia Allah tidak akan didapat dengan maksiat.” (HR. Al-Hakim)

Maka berusahalah beramal/beribadah dengan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jangan membuat perkara baru dalam agama (baca:bid’ah).

Dan berusahalah mencari rizki dengan cara yang halal serta hindari sejauh-jauhnya hal-hal yang diharamkan.

Hendaklah Orang yang Mampu Membantu
Hendaklah bagi orang yang mempunyai kelebihan harta ataupun yang punya kedudukan agar membantu saudaranya yang kurang mampu dan yang mengalami kesulitan. Allah berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS.Al-Maidah: 2)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan hilangkan darinya satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan orang yang mengalami kesulitan maka Allah akan mudahkan baginya di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan tutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Berdo’a ketika Sedih
Jika kita merasa sedih karena sesuatu menimpa kita seperti kehilangan harta, sulit mencari pekerjaan, kematian salah seorang keluarga kita, tidak mendapatkan sesuatu yang kita idam-idamkan, jodoh tak kunjung datang ataupun yang lainnya, maka ucapkanlah do’a berikut yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidaklah seseorang ditimpa suatu kegundahan maupun kesedihan lalu dia berdo’a: “Ya Allah, sesungguhnya saya adalah hamba-Mu, putra hamba laki-laki-Mu, putra hamba perempuan-Mu, ubun-ubunku ada di Tangan-Mu, telah berlalu padaku hukum-Mu, adil ketentuan-Mu untukku. Saya meminta kepada-Mu dengan seluruh Nama yang Engkau miliki, yang Engkau menamakannya untuk Diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu. Jadikanlah Al-Qur`an sebagai musim semi (penyejuk) hatiku dan cahaya dadaku, pengusir kesedihanku serta penghilang kegundahanku.” kecuali akan Allah hilangkan kegundahan dan kesedihannya dan akan diganti dengan diberikan jalan keluar dan kegembiraan.” Tiba-tiba ada yang bertanya: “Ya Rasulullah, tidakkah kami ajarkan do’a ini (kepada orang lain)? Maka Rasulullah menjawab: “Bahkan selayaknya bagi siapa saja yang mendengarnya agar mengajarkannya (kepada yang lain).” (HR. Ahmad)

Juga do’a berikut ini:
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari gundah gulana, sedih, lemah, malas, kikir, penakut, terlilit hutang dan dari tekanan/penindasan orang lain.” (HR. Bukhariy)

Ilmu adalah Pengganti Segala Kelezatan
Di antara hal yang bisa menghibur seseorang ketika mengalami kesepian atau ketika sedang dilanda kesedihan adalah menuntut ilmu dan senantiasa bersama ilmu.

Berkata Al-Imam Al-Mawardiy: “Ilmu adalah pengganti dari segala kelezatan dan mencukupi dari segala kesenangan…. Barangsiapa yang menyendiri dengan ilmu maka kesendiriannya itu tidak menjadikan dia sepi. Dan barangsiapa yang menghibur diri dengan kitab-kitab maka dia akan mendapat kesenangan…. Maka tidak ada teman ngobrol sebaik ilmu dan tidak ada sifat yang akan menolong pemiliknya seperti sifat al-hilm (sabar dan tidak terburu-buru).“ (Adabud Dunya wad Diin)

Duhai kiranya kita dapat mengambil manfaat dari ilmu yang kita miliki sehingga kita tidak akan merasa kesepian walaupun kita sendirian di malam yang sunyi tetapi ilmu itulah yang setia menemani.

Contoh Orang-orang yang Sabar
Cobaan yang menimpa kita kadang-kadang menjadikan kita bersedih tetapi hendaklah kesedihan itu dihadapi dengan kesabaran dan menyerahkan semua permasalahan kepada Allah, supaya Dia menghilangkan kesedihan tersebut dan menggantikannya dengan kegembiraan.

Allah berfirman mengisahkan tentang Nabi Ya’qub:
“Dan Ya`qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf”, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). Mereka berkata: “Demi Allah, senantiasa kamu mengingati Yusuf, sehingga kamu mengidapkan penyakit yang berat atau termasuk orang-orang yang binasa.” Ya`qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tiada mengetahuinya.” (QS.Yusuf: 84-86)

Allah juga berfirman mengisahkan tentang Maryam:
“Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.” Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS.Maryam: 22-25)

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai orang-orang yang sabar dan istiqamah dalam menjalankan syari’at-Nya, amin. Wallaahu A’lam.

(Sumber: Buletin Al Wala’ wa Bara’, Edisi ke-4 Tahun ke-3/17 Desember 2004 M/05 Dzul Qo’dah 1425 H. Judul asli ‘Janganlah Bersedih Wahai Saudaraku’ Diterbitkan Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah Wal Jamaah Bandung) http://www.ahlussunnah-jakarta.com/buletin_detil.php?id=40

dikutip dari: akhwat.web.id
Baca lagi...

Jumat, 04 November 2011

Radio Dakwah Online

Berikut Daftar Radio dakwah Online Mudah-mudahan Bermanfaat.........
Baca lagi...

Nasehat Bagi Yang Kecanduan FB........

Beberapa waktu yang lalu saya ditanya, “Bagaimana ya... keluar dari FB...?” Itu pertanyaan yang tidak sulit untuk dijawab. “Mudah! Tinggal delete akun anda... dalam 14 hari anda akan menghilang selamanya.”

Persoalannya menjadi tidak semudah itu, ketika FB telah menjadi kegemaran, kegiatan keseharian, seolah rutinitas yang jika tidak dilakukan, hari menjadi terasa membosankan. Bahkan bisa jadi layaknya sayur tanpa garam. Sebagian orang menjadi begitu ‘addicted’ dengan FB, bisa jadi ‘Facebookholic. Jika sudah begitu, akan banyak pembenaran yang dilakukan untuk intesitas waktu yang dihabiskan di FB.

“Manfaatnya banyak,” Kata seseorang. Ya, tidak dipungkiri FB memiliki manfaat. Sebut saja di antaranya, dapat menjalin kembali silaturahim dengan teman lama yang sudah puluhan tahun entah di mana rimbanya. Anda bisa menjalin hubungan dengan ribuan bahkan jutaan orang, promosi alias beriklan produk anda dengan gratis, mendapatkan info terkini dari situs-situs kesayangan anda yang juga membuka akun FB. Anda bahkan bisa berdakwah melalui FB. Sebut saja dengan cara ‘reminder’ ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits-hadits pilihan, menulis artikel yang bisa langsung dibaca orang lain, dan sebagainya.

Itu jenis manfaat yang bisa didapatkan. Adapun besarnya manfaat yang benar-benar didapat... wallahu a’lam. Anda tidak pernah benar-benar tahu bahwa apa yang anda tulis itu sungguh-sungguh dibaca, dan memberikan pengaruh pada jiwa yang membawa perubahan nyata. Hidayah milik Allah semata... Meskipun tentu saja itu adalah sarana yang efektif untuk menyebarkan dakwah di kalangan para pengguna yang berasal dari berbagai macam latar belakang dan kepentingan. Media penyeberan informasi murah, cepat, dengan jangkauan yang luas.

Alih-alih mendapatkan manfaat, yang terjadi justru banyak hal mudharat yang didapatkan. Pernahkan anda menyadari, tanpa terasa waktu telah berlalu sementara anda sibuk meng-update status, menjawab komentar, menggapprove friends, invitatiion, group, gift, flower ini itu, atau sekedar komentar yang sebenarnya tidak perlu dengan sesama pengguna? FB bahkan bisa menggatikan mesengger sebagai media chatting yang mengasyikkan.

Sebagian orang yang begitu asyik menjadikan FB sebagai sarana pelepas kebosanan, sehingga tanpa menyadari mulai menuliskan sesuatu yang sebenarnya kurang pantas dipublikasikan di depan umum. Mulai dari urusan rumah tangga, pasangan yang menunjukkan romantismenya dengan saling memuji atau menulis sesuatu di status, perdebatan panjang yang terkadang menjadi tidak jelas arahnya. Bahkan ada yang lebih buruk, saling menhina, bahkan menghina para asatidzah. FB menjadi media ngetop, tempat ungkapan perasaan dan suasana hati serta gundah gulana layaknya siaran berita, tempat ‘narsis’, kata seseorang yang tulisannya pernah saya baca.

Nanti dulu... itu belum seberapa. Ada banyak kuis yang menarik. Anda mulai ingin tahu seperti apa diri anda. Jenis hati apa yang anda miliki? Kepribadian seperti siapakah yang anda tampilkan, Aisyah, Khadijah atau...? Akan jadi apa anda 5 tahun mendatang? Siapa inisial jodohmu? Setidaknya itu yang sempat terbaca oleh saya dari update para pengguna.

Walhasil, niat sekedar bercanda atau bermain-main mengusir kebosanan tanpa sadar telah mendekatkan kita pada pintu syirik. Khususnya seperti jenis kuis ramalan.

Belum lagi fasilitas dan kemudahan yang disediakan oleh alat komunikasi (HP) yang memungkinkan FB bisa diakses dimana saja, kapan saja oleh siapa saja. Bukan rahasia lagi kalau Indonesia termasuk negara pengguna HP yang sangat tinggi, bahkan termasuk anak-anak SD. Akibatnya, anak-anak yang belum matang kepribadian, emosi dan pemahamannya, para remaja yang masih labil dan tengah mencari identitas diri, banyak menjadi korban kemudahan FB. Kita lah yang mebuat FB menjadi ‘booming’, sehingga anak-anak kita, adik-adik kita pun ikut-ikutan terjun ke dalamnya, agar tidak dibilang ‘kurang gaul’ alias ketinggalan jaman. .

FB, seperti jejaring sosial lainnya hidup dan meraih keuntungan dari banyaknya penggunanya. Seperti Friendster (FS), My Space, MP dan semisalnya. Kelak jika ada yang baru dan lebih menarik, dia akan tersingkir! Seperti sepinya FS dan jejaring sosial lainnya saat ini.

Sayangnya, FB yang telah meraup begitu banyak keuntungan, termasuk dari jutaan kaum muslimin, tidak memberikan pelayanan yang semestinya. Pengumuman event penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam itu dibiarkan termpampang selama beberapa waktu. Jika saja dia lebih seperti blog yang hanya dikunjungi orang tertentu atau yang kebetulan nyasar ke sana, mungkin tidak seberapa. Namun menyaksikannya selama beberpa waktu tanpa diminta setiap membuka akun FB, adalah sesuatu yang sangat berbeda, dengan efek yang berbeda pula. Dan bagi saya pribadi, sungguh tidak rela memberikan andil sekecil apapun bagi tumbuh kembangnya sebuah jejaring sosial yang membiarkan penghinaan itu terpampang di depan mata.

Persoalan itu akhirnya bisa diredam dengan diisolirnya page penghinaan tersbut. Yang ini saya kurang tahu, apakah dari pemerintah yang memblokir atau dari manajemen FB sendiri. Namun yang pasti tidak ada jaminan kedepannya tidak akan terjadi lagi... who knows? Bukankah orang-orang kafir dari kalangan yahudi dan nasrani akan selalu saling tolong-menolong dan tidak akan berhenti sampai melihat umat Islam keluar dari agamanya? Dan jika sudah menyangkut hal tersebut, saya tidak menaruh prasangka baik kepada Yahudi. Anda mungkin akan mengatakan saya ‘paranoid’, akan tetapi bukankah Al-Qur’an sendiri telah jelas mengabarkan niat busuk mereka?

FB memang hanyalah media, sebuah sarana yang dapat digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Dan sebagaimana media lainnya, dengan segala kemudahannya FB bisa menjadi penyebab hancurnya keimanan seseorang. Penghinaan terbuka terhadap agama, seperti event EDMD, akan langsung memicu kemarahan kaum muslimin, bahkan yang Islam KTP sekalipun. Akan tetapi, serangan tersamar melalui infiltrasi budaya, syubhat, perang pemikiran, teknologi, dan segala kemudahan yang diberikan FB yang membangkitkan sikap ‘permisif’ dan ‘apology’ justru lebih patut diwaspadai. Bukankah Aceh yang begitu gigih bertahan akhirnya jatuh setelah proses infiltrasi yang dilakukan Snouk Hogranye berikut politik adu dombanya?

Pasca EDMD, keluar atau tidak...? Setiap orang memiliki pandangan dan pendirian masing-masing. Anda lebih mengenal diri anda sendiri, mengetahui keinginan anda dan dampak dari sesuatu bagi diri anda, atau apa yang sudah dan anda lakukan dengan akun FB anda. Manfaat kah....? Atau kesia-siaan....?

di nukil dari : www.khayla.net
Baca lagi...

Saudariku, Jilbab Ketatmu Itu....

Ketat, tansparan, dan membentuk tubuh, itulah ciri-ciri jilbab sebagian wanita masa kini. Tampil cantik dan trendi dengan jilbab menjadi moto sebagian muslimah zaman sekarang. Ya.. cantik.. dengan pakaian tipis dan ketat yang menggoda, pernak-pernik perhiasan yang menggelantung mulai dari kepala sampai pin besar di dada, sapuan make up di wajah, sepatu hak tinggi runcing dengan wangi parfum yang menggelitik sambil berlenggok laksana bandul jam.… lengkaplah sudah wanita menjadikan dirinya layaknya etalase.

Saudariku, sadarkah engkau jilbab ketatmu itu adalah etalase auratmu? Seperti etalase toko yang memajang barang - yang biasanya produk unggulan - untuk menarik perhatian calon konsumen, seperti itulah jilbab ketat yang dipakai sebagaian kaum muslimah, etalase yang memamerkan bagian-bagian tertentu dari tubuhnya. Dan jika fungsi etalase untuk menarik perhatian calon pembeli… lalu menurutmu apa fungsi jilbab ketatmu itu? Perhatian siapa yang hendak kau pancing agar menoleh ke arahmu?

Saudariku, cobalah menatap dirimu lebih lama.. sedikit lebih lama di depan cermin, dengan perspekif berbeda. Perhatikan pakaianmu ketatmu. Apa yang terlintas di benakmu? Aurat sebelah mana yang berhasil kau sembunyikan dari pandangan orang lain yang bukan mahrammu dengan pakaian transparan atau pakaian ketatmu itu? Tanyakanlah pada dirimu, apa gunanya jilbab bagimu? Untuk siapa engkau mengenakannya? Jika engkau mengenakannya untuk memenuhi kewajiban menutup aurat, lalu di mana letak pakaian ketatmu dalam firman Allah berikut?

(artinya) “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu…” (QS Al-A’raf : 26)

Dan Allah berfirman:

(artinya): “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita….” (QS An-Nuur : 31)

Dan juga firman Allah:

(artinya) “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". (QS Al-Ahzab [33] : 59).”

Pernahkah terbetik di pikiranmu bahwa Sang Pembuat Syariat, memerintahkan wanita untuk menutup aurat agar kehormatannya terjaga? Bukankah lekuk liku tubuhmu yang engkau tampakkan dengan jilbab tipismu nan ketat itu justru memancing siulan dan pandangan maksiat dari lawan jenismu? Ataukah memang itu tujuannya?



Saudariku, jilbab diwajibkan bagi kita untuk menutup aurat, bukan sekedar menutupi kulit! Perintahnya adalah menutupnya dan bukan sekedar membalutnya sehingga tampak lekuk likunya. Menutupnya untuk menghalanginya dari pandangan orang lain, dan bukannya membiarkan orang lain dapat menerawang dan mengenali apa yang ada di baliknya.

Banyak kaum wanita meneriakkan protes atas nama kebebasan dan kesetaraan, agar hukum lebih melindungi wanita dari tindak pelecehan seksual, baik berupa perbuatan, perkataan, atau bahkan sekedar isyarat. Tidakkah terpikir olehmu, pakaian ketatmu itu justru mengundang pelaku pelecehan untuk beraksi?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahkan telah memperingatkan kita dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:

“Ada dua golongan penghuni Neraka yang belum pernah aku lihat sebelumnya, yaitu suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor-ekor sapi betina yang mereka pakai untuk mencambuk manusia; wanita-wanita yang berpakaian (namun) telanjang, yang kalau berjalan berlenggak-lenggok menggoyang-goyangkan kepalanya lagi durhaka (tidak ta’at), kepalanya seperti punuk-punuk unta yang meliuk-liuk. Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak dapat mencium bau wanginya, padahal bau wanginya itu sudah tercium dari jarak sekian dan sekian.” (Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 2128) dan Ahmad (no. 8673).

Ah, saudariku, jangan rendahkan dirimu! Jangan hinakan dirimu dengan menjadikan jilbabmu sebagai etalase auratmu! Jangan jadikan dirimu obyek siulan laki-laki iseng di pinggir jalan. Engkau bukan mannequin, bukan barang pajangan untuk dilirik, dinilai, ditaksir dan diberi label harga yang pantas oleh orang yang memandangmu. Tidak! Engkau jauh lebih berharga dari itu! Bahkan jauh lebih mulia dengan jilbab syar’i. Bangkitlah dan bangun kepercayaan dirimu! Sesungguhnya kecantikanmu bukan pada pakaian yang menampilkan keindahan tubuh, juga tidak pada riasan. Tetapi kecantikanmu akan terpancar dari ketakwaan, akhlak terpuji dan rasa malu, yang salah satunya akan tampak dari pakaian syar’i yang engkau kenakan. Ingatlah bahwa Allah telah berfirman:

(artinya): “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS Al-A’raaf : 26)

***
Referensi: http://www.khayla.net
Baca lagi...

Minggu, 30 Oktober 2011

KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

Sesungguhnya termasuk sebagian karunia Allah dan anugerah-Nya adalah Dia menjadikan untuk hamba-hamba-Nya yang shalih waktu-waktu tertentu dimana hamba-hamba tersebut dapat memperbanyak amal shalihnya. Diantara waktu-waktu tertentu itu adalah sepuluh hari (pertama) bulan Dzulhijjah. Berkenaan dengan firman Allah Ta’ala:

pic1.jpg

Demi Fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al Hajr:1-2)

Selanjutnya

Baca lagi...

PILIH NONTON TV ATAU PANJANG UMUR

Berapa jam waktu yang anda habiskan untuk menonton televisi? Jika lebih dari enam jam perhari, mungkin anda harus mulai memperhatikan kesehatan anda. Apalagi jika anda juga kurang berolahraga.
Para peneliti di Universitas Harvard, Amerika Serikat, sudah melakukan delapan penelitian dengan kesimpulan bahwa menonton televisi terlalu sering bisa meningkatkan resiko seseorang menderita diabetes, serangan jantung dan kematian dini.

Dari delapan penelitian itu ditemukan, menonton televisi selama dua jam sehari meningkatkan resiko menderita diabetes sebanyak 20 % sedangkan resiko terkena sakit jantung meningkat 15 % dan kematian 13 %. Ini artinya 100.000 orang yang menonton televisi selama dua jam perhari selama setahun, terdapat 176 orang beresiko terkena diabetes, 38 orang mendapat serangan jantung dan 104 orang meninggal di usia muda. Penelitian yang dilakukan oleh universitas Harvard ini sudah dipublikasikan dalam journal of the American medical association.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Lennert Veerman dari school of population health di university of Queensland, dan telah disiarkan di British journal of sport medicine juga menyebutkan, tiap satu jam menonton televisi bisa mengurangi usia sebanyak 22 menit, untuk orang yang berusia di atas 25 tahun Dr. Lennert juga mengatakan, menonton televisi memiliki resiko mengurangi usia yang sama dengan merokok dan obesitas.
Di sisi lain, aktivitas berolahraga meskipun Cuma sebentar setiap hari, ternyata bisa meningkatkan harapan hidup seseorang.
Chi-pang wen dari national health research institute di Taiwan dan Jackson pui man wai dari national Taiwan sport university melakukan riset terhadap lebih dari 400.000 orang yang ikut dalam program penyaringan medis antara 1996 dan 2008. Mereka memantau perkembangan semua relawan itu selama rata-rata delapan tahun.
Orang yang berada dalam satu kelompok olahraga “bervolume rendah” memiliki resiko 14 persen lebih kecil untuk menghadapi kematian dini akibat semua sebab dan 10 persen resiko kematian yang lebih rendah akibat kanker, dibandingkan dengan kelompok orang yang tak memiliki aktivitas fisik secara aktif.
Kategori olahraga dengan “volume rendah” diberlakukan pada orang yang jumlah total olahraga mereka rata-rata 92 menit per pekan, atau sekitar 15 menit sehari. Secara rata-rata harapan hidup mereka ialah tiga tahun lebih lama dibanfingkan dengan timpalan mereka yang tidak aktif.
Jadi menyelingi aktivitas harian dengan olahraga ringan akan sangat menguntungkan dibandingkan hanya mengisi waktu luang dengan menonton televisi.
(dikutip dari : Majalah Ar-risalah, Hal 37 Edisi 124 Tahun 2011)
Saudara-saudara sekalian!! kita percaya ataukah tidak terhadap penelitian yang telah disebutkan di atas, maka bagi seorang muslim hendaknya menyadari bahwa walaupun tidak demikian halnya, kita semestinya sadar bahwa waktu yang diberikan oleh Allah kepada kita (manusia) pasti akan dipertanggungjawabkan. Olehnya itu, alangkah beruntungnya orang yang menghabiskan waktunya di dunia ini dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, atau setidaknya memberikan manfaat dunia dan akhirat.
Dan ketahuilah Wahai saudara-saudara sekalian bahwa apapun yang dianjurkan dan apa saja yang dilarang dalam agama kita, maka pasti ada hikmah yang terkandung di dalamnya, baik hikmah itu nampak secara dhahir ataupun tidak nampak secara langsung dalam pandangan manusia. Yang terpenting adalah keyakinan kita bahwa Allah pasti tidak akan menyia-yiakan hambanya ketika seorang hamba berjalan di jalan yang dituntunkan oleh syariat agama kita. Semoga Allah senantiasa memberikan kita petunjuk.. Aminn
Wallahu A’lam….
وصلى الله على محمد اله وأصحابه أجمعين.
Baca lagi...

Karena Dosanya Sedikit, Maka...........

Benarlah adanya. Yah benarlah adanya orang yang mengatakan bahwa hati itu ibarat selembar kertas yang putih bersih pada muasalnya. Setitik hitam engkau teteskan di atasnya, akan nampaklah titik hitam itu. Teruslah meneteskan titik hitam di atasnya. Dua tetes, tiga tetes, empat tetes dan tetes selanjutnya. Lihatlah baik-baik! Pada mulanya. Titik-titik hitam itu masih terbedakan pada kertas itu. Tapi kini, ketika kertas putih menjelma menjadi kertas hitam, sebanyak apapun tetes-tetes hitam yang engkau letakkan di atasnya, engkau takkan sanggup lagi membedakannya…..

Sedemikian itulah persisnya hati kita. Tamsil itu sekaligus menjawab pertanyaan kita tentang betapa sulitnya kembali kepada Allah saat kaki telah begitu jauh terperosok dalam “titik-titik hitam” itu. Benar, karena semakin titik-titik hitam itu menggumpal dan merata membungkus hati, kita akan kehilangan daya pembeda dan kepekaan. Persentuhan dengan “titik-titik hitam” itu membuat kita tak lagi peka terhadap kedurhakaan kepada Allah Swt. Bahkan seringkali kita sampai pada sebuah titik di mana neraca timbangan kita terbalik. Saat itu, yang halal menjadi haram dan yang haram menjadi halal. Duhai Allah, kami sungguh berlindung padamu dari itu semua……………..
Amiiiin ya Rabbb….
Sebuah kisah yang mudah-mudahan menjadi inspirasi bagi kita untuk menyadari dan menjadi penggugah jiwa semoga dapat dengan mudah instrospeksi diri terhadap kondisi hati kita masing-masing.
Kisah tentang seorang imam yang bernama Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah.
Murid-muridnya seringkali dibuat takjub olehnya. Saat ia menyampaikan ilmunya lalu menemukan kesulitan saat menjelaskan suatu masalah, ia segera mengatakan kepada murid-muridnya yang hadir di Majelis itu, “ini pasti karena suatu dosa yang telah aku perbuat!.
Subhanallah… pantaslah jika namanya terus harum hingga zaman ini… dan tidak itu saja, murid-muridnya mengisahkan bahwa setiap kali peristiwa seperti itu terjadi, sang imam terus saja beristigfar. Terkadang ia bahkan langsung berdiri lalu mengambil air wudhu dan mengerjakan shalat dua rakaat. Ia bertaubat sejadi-jadinya kepada Allah Swt.
Jika setelah itu semua, ia kemudian seperti mendapat kemudahan untuk memahami dan melanjutkan kuliah-kuliahnya, lalu ia segera berkomentar, “mudah-mudahan ini pertanda bahwa taubatku telah diterima”.
Ketika kisah ini sampai ke telinga Al-Fudhail bin Iyadh – seorang alim dan juga ahli ibadah yang tersohor kala itu -, tahukah engkau apakah yang dilakukan dan dikatakannya?? Ia menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa menahan tangisnya. Sungguh….. Kisah itu langsung menghujam hatinya.. dengarkan apa yang dikatakannya: “karena dosanya begitu sedikit, maka ia bisa menyadari hal itu semua. Adapun selainnya, karena dosa mereka sudah sedemikian banyaknya, hingga mereka tidak lagi dapat merasakan dosa-dosa itu….”
Jika Al-Fudhail mengatakan seperti itu, lalu apa yang akan engkau katakan tentang diriku dan dirimu sendiri??? Katakanlah diam-diam, ketika malam semakin kelam… sampaikan sendiri kata-kata itu pada penguasa alam semesta ini. Semoga Dia (Allah) mengampunimu dengan sesungguhnya…….

Sumber : Tangannya telah berada di surga (M. Ihsan Zainuddin)
Baca lagi...

Minggu, 25 September 2011

Hasil Seleksi UIM Tahun 1432 H/ 2011 M

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Alhamdulillah Hasil seleksi/ Muqabalah Calon Mahasiswa Universitas Islam Madinah (UIM) Tahun 1432 H/2011 M Telah diumumkan, dan kami ucapkan selamat kepada calon mahasiswa yang dinyatakan lulus dalam seleksi tersebut. dan bagi yang belum dinyatakan lulus telah insya Allah Tahun depan di coba lagi...
hasil seleksi calon Mahasiswa UIM tahun 1432 H/ 2011 M dapat dilihat disini
Baca lagi...

Kamis, 25 Agustus 2011

Batas Minimal I'tikaaf

Para ulama berselisih pendapat dalam permasalahan ini, yang secara ringkas terbagi menjadi dua pendapat. Jumhur ulama dari kalangan Hanafiyyah, Maalikiyyah, dan Syaafi’iyyah berpendapat bahwa i’tikaf sah walau hanya dilakukan sebentar saja, sesuai kadar i’tikaaf itu sendiri. Beberapa dalil yang dipakai dalam pendapat ini antara lain :


Firman Allah ta’ala :
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber-i`tikaf dalam mesjid” [QS. Al-Baqarah : 187].

Sisi pendalilannya adalah : Allah ta’ala menyebutkan secara mutlak i’tikaaf tanpa membatasi waktu ataupun kadarnya.
عن بن جريج قال سمعت عطاء يخبر عن يعلى بن أمية قال إني لأمكث في المسجد الساعة وما أمكث الا لأعتكف
Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Aku mendengar ‘Athaa’ mengkhabaran dari Ya’laa bin Umayyah, ia berkata : “Sesungguhnya aku benar-benar akan tinggal di masjid sesaat/satu jam saja. Dan tidaklah aku tinggal di dalamnya kecuali untuk ber-i’tikaaf” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurazzaaq no. 8006; sanadnya shahih].
قال بن جريج قال عطاء هو اعتكاف ما مكث فيه وإن جلس في المسجد احتساب الخير فهو معتكف وإلا فلا
Telah berkata Ibnu Juraij : Telah berkata ‘Athaa’ : “Aktifitas itu disebut i’tikaaf selama tinggal/menetap di dalamnya. Dan seandainya orang itu duduk di dalam masjid dan mengharapkan kebaikan, maka ia disebut orang yang ber-i’tikaaf. Jika tidak, maka tidak disebut orang yang ber-i’tikaaf” [idem, no. 8007; sanadnya shahih].
Juga dilihat dari sisi bahasa, bahwasannya i’tikaaf itu artinya mendiami atau melazimi sebagaimana ada dalam firman Allah ta’ala :
إِذْ قَالَ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ
“(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya?" [QS. Al-Anbiyaa’ : 51].
Adapun pendapat yang mu’tamad dari kalangan Maalikiyyah dan satu riwayat dari Abu Haniifah mengatakan bahwa batas minimal waktu i'tikaf adalah sehari semalam. Pendapat ini dibangun dengan alasan bahwa puasa merupakan syarat sahnya i’tikaaf. Jika puasa merupakan syarat sahnya i'tikaaf, dan puasa sendiri dilakukan di siang hari, maka i’tikaaf harus dilakukan pada siang dan sekaligus malamnya. Beberapa dalil yang menunjukkan puasa sebagai syarat sahnya i’tikaaf antara lain :
Allah ta’ala berfirman :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid” [QS. Al-Baqarah : 187].
Sisi pendalilannya adalah sebagaimana riwayat berikut :
حدثني يحيى عن مالك أنه بلغه أن القاسم بن محمد ونافعا مولى عبد الله بن عمر قالا لا اعتكاف إلا بصيام بقول الله تبارك وتعالى في كتابه { وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر ثم أتموا الصيام إلى الليل ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد } فإنما ذكر الله الاعتكاف مع الصيام قال مالك وعلى ذلك الأمر عندنا أنه لا اعتكاف إلا بصيام
Telah menceritakan kepadaku Yahyaa, dari Maalik : Bahwasannya ia telah menyampaikan kepadanya bahwa Al-Qaasim bin Muhammad dan Naafi’ maulaa ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : “Tidak sah i’tikaaf kecuali dengan puasa, dengan dasar firman Allah tabaaraka wa ta’ala dalam kitab-Nya : ‘Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber-i`tikaf dalam mesjid’ (QS. Al-Baqarah : 187). Allah ta’ala hanyalah menyebutkan i’tikaaf bersamaan dengan puasa”. Maalik berkata : “Atas dasar itulah bahwasanya perkara yang ada di sisi kami, tidak sah i'tikaaf kecuali dengan puasa” [Al-Muwaththa, 2/378-379].
حدثنا وهب بن بقية، أخبرنا خالد، عن عبد الرحمن يعني ابن إسحاق عن الزهري، عن عروة، عن عائشة أنها قالت: السنة على المعتكف أن لا يعود مريضاً، ولا يشهد جنازةً، ولا يمسَّ امرأةً ولا يباشرها ولا يخرج لحاجة إلا لما لابُدَّ منه، ولا اعتكاف إلا بصوم، ولا اعتكاف إلا في مسجد جامع.
قال أبو داود: غير عبد الرحمن بن إسحاق لا يقول فيه: "قالت: السنة".
قال أبو داود: جعله قول عائشة.
Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyyah : Telah mengkhabarkan kepada kami Khaalid, dari ‘Abdurahmaan – yaitu Ibnu Ishaaq - , dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah, bahwasannya ia pernah berkata : “Termasuk sunnah bagi orang yang beri’tikaf adalah ia tidak menjenguk orang sakit, tidak menyaksikan jenazah, tidak menyentuh dan berjimak dengan wanita (istrinya), tidak keluar untuk satu keperluan kecuali ia memang harus melakukannya. Dan tidak sah i’tikaaf kecuali dengan puasa. Dan tidak sah pula i'tikaaf kecuali di dalam masjid jaami’”.
Abu Dawud berkata : “Selain ‘Abdurrahmaan bin ‘Iisaa tidak mengatakan padanya : ‘’Aaisyah berkata : Termasuk sunnah”.
Abu Daawud berkata : “Ia menjadikannya sebagai perkataan ‘Aaisyah” [Sunan Abi Daawud no. 2473].
Dhahir riwayat ini shahih dan dihukumi marfuu’, dengan sebab perkataan ‘Aaisyah : “Termasuk sunnah”. Akan tetapi riwayat ini banyak dikritik oleh para ulama, di antara Abu Daawud di atas yang mengindikasikan adanya ‘illat riwayat. Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/317 pun mengatakan hal yang serupa bahwa dalam lafadh riwayat tersebut terdapat idraaj dari perkataan selain ‘Aaisyah. Begitu juga Ad-Daaruquthniy (3/187 no. 2363), yang kemudian dikutip Ibnu Hajar dalam Fathul-Baariy (4/273).
Seandainya ta’lil tersebut shahih, maka riwayat itu hanya dihukumi mauquf saja. Bersamaan dengan itu, telah shahih atsar dari shahabat lain yang tidak mensyaratkan puasa bagi orang yang melakukan i’tikaaf kecuali jika ia mewajibkan bagi dirinya sendiri. Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :
وقد رواه أبو بكر الحميدي عن عبد العزيز بن محمد عن أبي سهيل بن مالك قال اجتمعت أنا ومحمد بن شهاب عند عمر بن عبد العزيز وكان على امرأتي اعتكاف ثلاث في المسجد الحرام فقال بن شهاب لا يكون اعتكاف إلا بصوم فقال عمر بن عبد العزيز أمن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لا قال فمن أبي بكر قال لا قال فمن عمر قال لا قال فمن عثمان قال لا قال أبو سهيل فانصرفت فوجدت طاوسا وعطاء فسألتهما عن ذلك فقال طاوس كان بن عباس لا يرى على المعتكف صياما إلا أن يجعله على نفسه وقال عطاء ذلك رأي هذا
Dan telah diriwayatkan oleh Abu Bakr Al-Humaidiy, dari ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad dari Abu Suhail bin Maalik, ia berkata : Aku dan Muhammad bin Syihaab (Az-Zuhriy) pernah berkumpul di sisi ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz. Pada waktu itu, istriku telah mewajibkan bagi dirinya (bernadzar) untuk ber-i’tikaaf selama tiga hari di Al-Masjidil-Haraam. Ibnu Syihaab berkata : “Tidak ada i’tikaaf kecuali dengan puasa”. ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz berkata : “Apakah itu berasal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah dari Abu Bakr ?”. Ia menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah dari ‘Umar ?”. Ia menjawab : “Tidak”. ‘Umar kembali berkata : “Apakah dari ‘Utsmaan ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Abu Suhail berkata : Lalu aku pergi dan bertemu dengan Thaawus dan ‘Athaa’. Aku bertanya tentang hal tersebut kepada mereka berdua. Thaawus berkata : “Ibnu ‘Abbaas tidak berpendapat adanya kewajiban bagi orang yang ber-i’tikaaf untuk berpuasa, kecuali ia menjadikannya wajib bagi dirinya sendiri”. ‘Athaa’ berkata : “Itulah pendapat dalam permasalahan ini” [Al-Kubraa, 4/319 – dan Al-Baihaqiy menshahihkannya].[1]
Oleh karena itu, pendapat salah seorang shahabat yang diselisihi shahabat lain bukanlah dalil.
Juga ada riwayat marfuu’ yang menjelaskan bahwa puasa bukan sebagai syarat i’tikaaf.
حدثنا مسدد: حدثنا يحيى بن سعيد، عن عبيد الله: أخبرني نافع، عن ابن عمر رضي الله عنهما: أن عمر سأل النبي صلى الله عليه وسلم قال: كنت نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام؟. قال: (فأوف بنذرك).
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid, dari ‘Ubaidullah : Telah mengkhabarkan kepadaku Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya ‘Umar pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Aku pernah bernadzar di masa Jahiliyyah untuk ber-i’tikaaf semalam suntuk di Al-Masjidil-Haram. Maka beliau menjawab : “Penuhilah nadzarmu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2032].
Riwayat di atas menjelaskan kebolehan ber-i’tikaaf hanya di malam hari saja, sehingga tidak perlu berpuasa di dalamnya.
Akan tetapi, membawakan riwayat tersebut untuk menunjukkan puasa bukan sebagai syarat i’tikaaf mendapat sanggahan, karena dalam riwayat lain disebutkan nadzar ‘Umar adalah ber-i’tikaaf selama sehari.
حدثنا أبو النعمان: حدثنا حماد بن زيد، عن أيوب، عن نافع: أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: يا رسول الله، إنه كان علي اعتكاف يوم في الجاهلية، فأمره أن يفي به،....
Telah menceritakan kepada kami Abun-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari Ayyuub, dari Naafi : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyalaahu ‘anhu pernah berkata : “Wahai Rasulullah, sesunguhnya aku pernah bernadzar ber-i’tikaaf selama sehari di masa Jaahiliyyah”. Lalu beliau memerintahkannya agar nadzarnya itu dipenuhi..... [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3144].
Sanad riwayat ini munqathi’, karena Naafi’ tidak pernah meriwayatkan dari ‘Umar radliyallaahu ‘anhu. Akan tetapi ia dihukumi muttashil (bersambung) karena telah diketahui bahwa yang menjadi perantara Naafi’ dengan ‘Umar adalah Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
وحدثني أبو الطاهر. أخبرنا عبدالله بن وهب. حدثنا جرير بن حازم؛ أن أيوب حدثه؛ أن نافعا حدثه؛ أن عبدالله بن عمر حدثه؛ أن عمر بن الخطاب سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهو بالجعرانة، بعد أن رجع من الطائف، فقال: يا رسول الله! إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف يوما في المسجد الحرام. فكيف ترى؟ قال (اذهب فاعتكف يوما).
Dan telah menceritakan kepadaku Abuth-Thaahir : Telah mengkhbarkan kepada kami ‘Abdullah bin Wahb : Telah menveritakan kepada kami Jariir bin Haazim : Bahwasannya Ayyuub telah menceritakan kepadanya : Bahwasannya Naafi’ telah menceritakan kepadanya : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar telah menceritakan kepadanya : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang saat itu ia berada di [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1656].
Tarjih
Melihat pendalilan dan hujjah masing-masing pendapat, maka yang raajih – wallaahu a’lam – adalah pendapat jumhur. Tidak ada nash shahih dan sharih yang dikemukakan oleh pendapat kedua (dari kalangan Maalikiyyah) yang menyatakan batas minimal. Seandainya shahih bahwa puasa sebagai syarat sahnya i’tikaaf, maka itu juga tidak menunjukkan bahwa batas minimalnya sehari semalam atau hanya sehari saja, karena satu ibadah tidaklah tergantung pada ukuran syaratnya. Oleh karena itu, sah i’tikaaf walau hanya beberapa saat walau dengan syarat orang yang melakukannya dalam keadaan berpuasa.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, ciomas, bogor – 1432 H].

[1] Ibnu Hazm rahimahulah dalam Al-Muhallaa membawakan riwayat ini dengan sanad sebagai berikut :
حدثنا محمد بن سعيد بن نبات نا عبد الله بن عمر محمد القلعي نا محمد بن أحمد الصواف نا بشر بن موسى بن صالح بن عميرة نا أبو بكر الحميدي نا عبد العزيز بن محمد الدراوردي نا أبو سهيل بن مالك قال
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sa’iid bin Nabaat : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdulllah bin ‘Umar bin Muhammad Al-Qala’iy : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ahmad Ash-Shawaaf : Telah mengkhabarkan kepada kami Bisyr bin Musaa bin Shaalih bin ‘Umairah : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Al-Humaidiy : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad Ad-Daraawardiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Huhail paman Maalik, ia berkata : “......(atsar)....”.
Sanad riwayat ini shahih.
Bisyr bin Muusaa bin Shaalih seorang yang tsiqah. Muhammad bin Ahmad Ash-Shawaaf namanya adalah Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan bin Ishaaq bin Ibraahiim, seorang yang tsiqah lagi ma’muun. ‘Abdullah bin Muhammad bin Al-Qaasim bin Hazm, Abu Muhammad Al-Andalusiy Al-Qala’iy; seorang yang tsiqah lagi ma’muun. Muhammad bin Sa’iid bin Muhammad bin Nabaat, Abu ‘Abdillah Al-Umawiy; seorang yang tsiqah lagi shaalih.
Sumber: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/08/waktu-minimal-itikaaf.html
Baca lagi...

Penjelasan Tentang Sujud Sahwi

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Saat ini kita akan membahas pembahasan menarik mengenai sujud sahwi, sujud karena lupa. Kami akan sajikan dengan sederhana supaya lebih memahamkan pembaca sekalian. Panduan sujud sahwi ini akan kami bagi menjadi beberapa seri tulisan. Semoga bermanfaat.

Definisi Sujud Sahwi


Sahwi secara bahasa bermakna lupa atau lalai.[1] Sujud sahwi secara istilah adalah sujud yang dilakukan di akhir shalat atau setelah shalat untuk menutupi cacat dalam shalat karena meninggalkan sesuatu yang diperintahkan atau mengerjakan sesuatu yang dilarang dengan tidak sengaja.[2]

Pensyariatan Sujud Sahwi

Para ulama madzhab sepakat mengenai disyariatkannya sujud sahwi. Di antara dalil yang menunjukkan pensyariatannya adalah hadits-hadits berikut ini. Hadits-hadits ini pun nantinya akan dijadikan landasan dalam pembahasan sujud sahwi selanjutnya.

Pertama: Hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ الأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا. لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ إِنْ يَدْرِى كَمْ صَلَّى فَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَحَدُكُمْ كَمْ صَلَّى فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ

“Apabila adzan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar adzan tersebut. Apabila adzan selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan iqomah, setan pun berpaling lagi. Apabila iqamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali, ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia berkata, “Ingatlah demikian, ingatlah demikian untuk sesuatu yang sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat. Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, hendaklah dia bersujud dua kali dalam keadaan duduk.” (HR. Bukhari no. 1231 dan Muslim no. 389)

Kedua: Hadits Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga ataukah empat rakaat maka buanglah keraguan, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia shalat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan shalatnya. Lalu jika ternyata shalatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (HR. Muslim no. 571)

Ketiga: Hadits Abu Hurairah, ia berkata,

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى صَلَاتَيْ الْعَشِيِّ إِمَّا الظُّهْرَ وَإِمَّا الْعَصْرَ فَسَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَتَى جِذْعًا فِي قِبْلَةِ الْمَسْجِدِ فَاسْتَنَدَ إِلَيْهَا مُغْضَبًا وَفِي الْقَوْمِ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرَ فَهَابَا أَنْ يَتَكَلَّمَا وَخَرَجَ سَرَعَانُ النَّاسِ قُصِرَتْ الصَّلَاةُ فَقَامَ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقُصِرَتْ الصَّلَاةُ أَمْ نَسِيتَ فَنَظَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمِينًا وَشِمَالًا فَقَالَ مَا يَقُولُ ذُو الْيَدَيْنِ قَالُوا صَدَقَ لَمْ تُصَلِّ إِلَّا رَكْعَتَيْنِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ وَرَفَعَ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami kami shalat pada salah satu dari dua shalat petang, mungkin shalat Zhuhur atau Ashar. Namun pada raka’at kedua, beliau sudah mengucapkan salam. Kemudian beliau pergi ke sebatang pohon kurma di arah kiblat masjid, lalu beliau bersandar ke pohon tersebut dalam keadaan marah. Di antara jamaah terdapat Abu Bakar dan Umar, namun keduanya takut berbicara. Orang-orang yang suka cepat-cepat telah keluar sambil berujar, “Shalat telah diqoshor (dipendekkan).” Sekonyong-konyong Dzul Yadain berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah shalat dipendekkan ataukah anda lupa?” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menengok ke kanan dan ke kiri, lalu bersabda, “Betulkan apa yang dikatakan oleh Dzul Yadain tadi?” Jawab mereka, “Betul, wahai Rasulullah. Engkau shalat hanya dua rakaat.” Lalu beliau shalat dua rakaat lagi, lalu memberi salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.” (HR. Bukhari no. 1229 dan Muslim no. 573)

Keempat: Hadits ‘Imron bin Hushain.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى الْعَصْرَ فَسَلَّمَ فِى ثَلاَثِ رَكَعَاتٍ ثُمَّ دَخَلَ مَنْزِلَهُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ الْخِرْبَاقُ وَكَانَ فِى يَدَيْهِ طُولٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَذَكَرَ لَهُ صَنِيعَهُ. وَخَرَجَ غَضْبَانَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى النَّاسِ فَقَالَ « أَصَدَقَ هَذَا ». قَالُوا نَعَمْ. فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat ‘Ashar lalu beliau salam pada raka’at ketiga. Setelah itu beliau memasuki rumahnya. Lalu seorang laki-laki yang bernama al-Khirbaq (yang tangannya panjang) menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya, “Wahai Rasulullah!” Lalu ia menyebutkan sesuatu yang dikerjakan oleh beliau tadi. Akhirnya, beliau keluar dalam keadaan marah sambil menyeret rida’nya (pakaian bagian atas) hingga berhenti pada orang-orang seraya bertanya, “Apakah benar yang dikatakan orang ini?“ Mereka menjawab, “Ya benar”. Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.” (HR. Muslim n o. 574)

Kelima: Hadits ‘Abdullah bin Buhainah.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ وَعَلَيْهِ جُلُوسٌ فَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فَكَبَّرَ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ وَسَجَدَهُمَا النَّاسُ مَعَهُ مَكَانَ مَا نَسِيَ مِنْ الْجُلُوسِ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat Zhuhur namun tidak melakukan duduk (tasyahud awal). Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali, dan beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk sebelum. Beliau lakukan seperti ini sebelum salam. Maka orang-orang mengikuti sujud bersama beliau sebagai ganti yang terlupa dari duduk (tasyahud awal).” (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570)

Keenam: Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud.

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَمْسًا فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَزِيدَ فِى الصَّلاَةِ قَالَ « وَمَا ذَاكَ ». قَالُوا صَلَّيْتَ خَمْسًا. قَالَ « إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَذْكُرُ كَمَا تَذْكُرُونَ وَأَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ ». ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَىِ السَّهْوِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami lima raka’at. Kami pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menambah dalam shalat?” Lalu beliau pun mengatakan, “Memang ada apa tadi?” Para sahabat pun menjawab, “Engkau telah mengerjakan shalat lima raka’at.” Lantas beliau bersabda, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia semisal kalian. Aku bisa memiliki ingatan yang baik sebagaimana kalian. Begitu pula aku bisa lupa sebagaimana kalian pun demikian.” Setelah itu beliau melakukan dua kali sujud sahwi.” (HR. Muslim no. 572)

Lalu apa hukum sujud sahwi?

Mengenai hukum sujud sahwi para ulama berselisih menjadi dua pendapat, ada yang mengatakan wajib dan ada pula yang mengatakan sunnah. Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini dan lebih menentramkan hati adalah pendapat yang menyatakan wajib. Hal ini disebabkan dua alasan:

Dalam hadits yang menjelaskan sujud sahwi seringkali menggunakan kata perintah. Sedangkan kata perintah hukum asalnya adalah wajib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukan sujud sahwi –ketika ada sebabnya- dan tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan bahwa beliau pernah meninggalkannya.

Pendapat yang menyatakan wajib semacam ini dipilih oleh ulama Hanafiyah, salah satu pendapat dari Malikiyah, pendapat yang jadi sandaran dalam madzhab Hambali, ulama Zhohiriyah dan dipilih pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[3]

Sebab Adanya Sujud Sahwi

Pertama: Karena adanya kekurangan.

Rincian 1: Meninggalkan rukun shalat[4] seperti lupa ruku’ dan sujud.

Jika meninggalkan rukun shalat dalam keadaan lupa, kemudian ia mengingatnya sebelum memulai membaca Al Fatihah pada raka’at berikutnya, maka hendaklah ia mengulangi rukun yang ia tinggalkan tadi, dilanjutkan melakukan rukun yang setelahnya. Kemudian hendaklah ia melakukan sujud sahwi di akhir shalat.
Jika meninggalkan rukun shalat dalam keadaan lupa, kemudian ia mengingatnya setelah memulai membaca Al Fatihah pada raka’at berikutnya, maka raka’at sebelumnya yang terdapat kekurangan rukun tadi jadi batal. Ketika itu, ia membatalkan raka’at yang terdapat kekurangan rukunnya tadi dan ia kembali menyempurnakan shalatnya. Kemudian hendaklah ia melakukan sujud sahwi di akhir shalat.
Jika lupa melakukan melakukan satu raka’at atau lebih (misalnya baru melakukan dua raka’at shalat Zhuhur, namun sudah salam ketika itu), maka hendaklah ia tambah kekurangan raka’at ketika ia ingat. Kemudian hendaklah ia melakukan sujud sahwi sesudah salam.[5]

Rincian 2: Meninggalkan wajib shalat[6] seperti tasyahud awwal.

Jika meninggalkan wajib shalat, lalu mampu untuk kembali melakukannya dan ia belum beranjak dari tempatnya, maka hendaklah ia melakukan wajib shalat tersebut. Pada saat ini tidak ada kewajiban sujud sahwi.
Jika meninggalkan wajib shalat, lalu mengingatnya setelah beranjak dari tempatnya, namun belum sampai pada rukun selanjutnya, maka hendaklah ia kembali melakukan wajib shalat tadi. Pada saat ini juga tidak ada sujud sahwi.
Jika ia meninggalkan wajib shalat, ia mengingatnya setelah beranjak dari tempatnya dan setelah sampai pada rukun sesudahnya, maka ia tidak perlu kembali melakukan wajib shalat tadi, ia terus melanjutkan shalatnya. Pada saat ini, ia tutup kekurangan tadi dengan sujud sahwi.

Keadaan tentang wajib shalat ini diterangkan dalam hadits Al Mughirah bin Syu’bah. Ia mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ فَلَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ فَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلاَ يَجْلِسْ وَيَسْجُدْ سَجْدَتَىِ السَّهْوِ

“Jika salah seorang dari kalian berdiri dari raka’at kedua (lupa tasyahud awwal) dan belum tegak berdirinya, maka hendaknya ia duduk. Tetapi jika telah tegak, maka janganlah ia duduk (kembali). Namun hendaklah ia sujud sahwi dengan dua kali sujud.” (HR. Ibnu Majah no. 1208 dan Ahmad 4/253)

Rincian 3: Meninggalkan sunnah shalat[7].

Dalam keadaan semacam ini tidak perlu sujud sahwi, karena perkara sunnah tidak mengapa ditinggalkan.

Kedua: Karena adanya penambahan.

Jika seseorang lupa sehingga menambah satu raka’at atau lebih, lalu ia mengingatnya di tengah-tengah tambahan raka’at tadi, hendaklah ia langsung duduk, lalu tasyahud akhir, kemudian salam. Kemudian setelah itu, ia melakukan sujud sahwi sesudah salam.
Jika ia ingat adanya tambahan raka’at setelah selesai salam (setelah shalat selesai), maka ia sujud ketika ia ingat, kemudian ia salam.

Pembahasan ini dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - صَلَّى الظُّهْرَ خَمْسًا فَقِيلَ لَهُ أَزِيدَ فِى الصَّلاَةِ فَقَالَ « وَمَا ذَاكَ » . قَالَ صَلَّيْتَ خَمْسًا . فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ مَا سَلَّمَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat Zhuhur lima raka’at. Lalu ada menanyakan kepada beliau, “Apakah engkau menambah dalam shalat?” Beliau pun menjawab, “Memangnya apa yang terjadi?” Orang tadi berkata, “Engkau shalat lima raka’at.” Setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud dua kali setelah ia salam tadi.” (HR. Bukhari no. 1226 dan Muslim no. 572)

Ketiga: Karena adanya keraguan.

Jika ia ragu-ragu –semisal ragu telah shalat tiga atau empat raka’at-, kemudian ia mengingat dan bisa menguatkan di antara keragu-raguan tadi, maka ia pilih yang ia anggap yakin. Kemudian ia nantinya akan melakukan sujud sahwi sesudah salam.
Jika ia ragu-ragu –semisal ragu telah shalat tiga atau empat raka’at-, dan saat itu ia tidak bisa menguatkan di antara keragu-raguan tadi, maka ia pilih yang ia yakin (yaitu yang paling sedikit). Kemudian ia nantinya akan melakukan sujud sahwi sebelum salam.

Mengenai permasalahan ini sudah dibahas pada hadits Abu Sa’id Al Khudri yang telah lewat. Juga terdapat dalam hadits ‘Abdurahman bin ‘Auf, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ وَاحِدَةً صَلَّى أَوْ ثِنْتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثِنْتَيْنِ صَلَّى أَوْ ثَلاَثًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثِنْتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثَلاَثًا صَلَّى أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلاَثٍ وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ

“Jika salah seorang dari kalian merasa ragu dalam shalatnya hingga tidak tahu satu rakaat atau dua rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaknya ia hitung satu rakaat. Jika tidak tahu dua atau tiga rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaklah ia hitung dua rakaat. Dan jika tidak tahu tiga atau empat rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaklah ia hitung tiga rakaat. Setelah itu sujud dua kali sebelum salam.” (HR. Tirmidzi no. 398 dan Ibnu Majah no. 1209. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 1356)

Yang perlu diperhatikan: Seseorang tidak perlu memperhatikan keragu-raguan dalam ibadah pada tiga keadaan:

Jika hanya sekedar was-was yang tidak ada hakikatnya.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah selalu dilingkupi keragu-raguan, maka pada saat ini keragu-raguannya tidak perlu ia perhatikan.
Jika keraguan-raguannya setelah selesai ibadah, maka tidak perlu diperhatikan selama itu bukan sesuatu yang yakin.

Demikian serial pertama mengenai sujud sahwi dari rumaysho.com. Adapun mengenai tatacara sujud sahwi, bacaan di dalamnya dan permasalahan-permasalahn seputar sujud sahwi, akan kami bahas pada kesempatan selanjutnya insya Allah. Semoga Allah mudahkan.



Artikel www.rumaysho.com

Panggang-GK, 22 Jumadits Tsani 1431 H (04/06/2010)

Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal

[1] Lisanul ‘Arob, Muhammad bin Makrom binn Manzhur Al Afriqi Al Mishri, 14/406, Dar Shodir.

[2] Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/459, Al Maktabah At Taufiqiyah.

[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/ 463.

[4] Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap secara syar’i dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.

Meninggalkan rukun shalat ada dua bentuk.

Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini shalatnya batal dan tidak sah dengan kesepakatan para ulama.

Kedua: Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada tiga rincian,

- Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk melakukannya kembali. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.

- Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut ulama-ulama Hanafiyah. Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa raka’at yang ketinggalan rukun tadi menjadi hilang.

- Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus diulangi dari awal lagi karena ia tidak memasuki shalat dengan benar. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/313-314)

[5] Keadaan semacam ini sudah dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah tentang Dzul Yadain yang telah lewat.

[6] Yang dimaksud wajib shalat adalah perkataan atau perbuatan yang diwajibkan dalam shalat. Jika wajib shalat ini lupa dikerjakan, bisa ditutup dengan sujud sahwi. Namun jika wajib shalat ini ditinggalkan dengan sengaja, shalatnya batal jika memang diketahui wajibnya. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/328)

[7] Yang dimaksud sunnah shalat adalah perkataan atau perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan dalam shalat dan yang melakukannya akan mendapatkan pahala. Jika sunnah shalat ini ditinggalkan tidak membatalkan shalat walaupun dengan sengaja ditinggalkan dan ketika itu pun tidak diharuskan sujud sahwi. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/336)
Baca lagi...

Penjelasan Tentang Sujud Sahwi Syaikh Utsaimin Rahimahullah

إن الحمد لله، نحمده ونستعينه ونستغفره، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، : أما بعد

Tidak jarang disaat kita melaksanakan sholat, baik dalam keadaan sholat, maupun sudah selesai salam, timbul rasa keraguan dalam hati kita. Keraguan tersebut bisa berupa lupa jumlah raka`at yang telah dikerjakan (tertambah ataupun terkurangi), lupa tasyahhud awal, ragu saat sholat sedang berada di raka`at keberapa dan lain sebagainya.

Dan bila hal ini terjadi pada kita, jangan risau maupun bingung. Beruntunglah bagi orang yang mencintai sunnah, yakni ahlussunnah wal jama`ah. Kenapa? Karena kita tidak perlu mengada-adakan sesuatu ataupun mengarang-ngarangnya seperti yang sering dilakukan ahlul bida`seperti kaum sufi, kaum syiah, tariqat-tariqat dan seluruh firqoh yang sesat dan menyesatkan diluar ahlul hadith, ahlussunnah waljama`ah. Sebab telah ada sunnah yang telah dicontohkan Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam kepada kita tentang hal ini. Mau tahu…? Silahkan simak penjelasannya di bawah ini:


[Kasus 1].
Apabila seseorang lupa dalam sholatnya, sehingga tertambah 1 kali ruku` atau 1 kali sujud atau 1 kali berdiri atau 1 kali duduk, maka orang tersebut harus meneruskan sholatnya sampai salam, untuk selanjutnya melaksanakan sujud sahwi (dua kali sujud), lalu salam kembali.
Contohnya:
Apabila seseorang melaksanakan sholat Dzuhur, kemudian dia berdiri untuk raka`at ke lima (ke-5), tiba-tiba ia ingat ataupun diingatkan orang lain, maka ia harus duduk kembali TANPA TAKBIR, lalu membaca tasyahhud akhir dan salam, kemudian ia sujud sahwi (dua kali sujud) lalu salam kembali.
# Bila orang tersebut mengetahuinya (tambahan tadi) setelah selesai sholat, maka ia tetap harus sujud sahwi dan salam kembali.

[Kasus 2].
Apabila seseorang salam sebelum sempurna sholatnya karena lupa, namun tidak lama berselang setelah salam tersebut tiba-tiba ia ingat ataupun diingatkan orang lain dengan catatan lama waktu ia teringat atau diingatkan tersebut kira-kira sama dengan lamanya dia sholat (mulai sholat sampai salam) maka ia harus menyempurnakan sholatnya yang tertinggal tadi kemudian salam dan setelah itu sujud sahwi (dua kali sujud) dan salam kembali.
Contohnya:
Apabila seseorang sholat Dzuhur, kemudian ia lupa dan langsung salam pada raka`at ke 3 (tiga), tiba-tiba ia ingat ataupun diingatkan orang lain, maka dia harus menyempurnakan raka`at ke 4 (empat) dan salam, lalu sujud sahwi (dua kali sujud) untuk seterusnya salam.
# Bila orang tersebut sadar akan kekurangan raka`atnya tersebut DALAM JANGKA WAKTU YANG LAMA, maka ia harus mengulang sholatnya dari awal.

[Kasus 3].
Apabila seseorang meninggalkaan tasyahhud awal atau kewajiban lainnya dalam sholat KARENA LUPA, maka ia harus sujud sahwi (dua kali sujud) sebelum salam. Dan hal ini menjadi tidak mengapa baginya. Namun jika ia ingat bahwa ia belum membaca tasyahhud awal tersebut atau kewajiban lainnya itu sebelum berobah posisi-nya, maka hendaklah ia tunaikan (tasyahhud awal atau kewajiban lainnya tersebut). Dan hal demikian menjadi tidak mengapa baginya.
Jika ia ingat setelah perubahan posisi tetapi sebelum sampai pada posisi yang berikutnya, hendaklah ia kembali ke posisi yang pertama untuk menunaikan tasyahhud awal atau kewajiban lainnya tersebut.
Contohnya:
Apabila seseorang lupa tasyahhud awal dan ia langsung berdiri ke raka`at ke 3 (tiga) dengan sempurna maka ia tidak boleh kembali duduk dan wajib atasnya sujud sahwi sebelum salam.
# Bila ia duduk tasyahhud tetapi lupa membaca tasyahhud, kemudian ingat sebelum berdiri, maka ia harus membaaca tasyahhud dan kemudian menyempurnakan sholatnya, TANPA SUJUD SAHWI.
# Demikian juga bila ia berdiri seblum tasyahhud kemudian ingat sebelum berdirinya sempurna, maka ia harus kembali duduk dan bertasyahhud untuk kemudian menyempurnakan sholatnya.
# catatan:
Tetapi para `Ulama menyatakan bahwa ia harus tetap sujud sahwi dikarenakan ia telah menambah satu gerakan yakni bangkit ketika hendak berdiri ke raka`at ke 3. Wallahu a`lam
[Kasus 4].
Apabila seseorang ragu dalam sholatnya apakah telah 2 raka`at atau sudah 3 raka`at dan ia TIDAK MAMPU menentukan yang paling rojih (kuat) diantara keduanya maka ia harus membangun di atas yaqin JUMLAH YANG TERKECIL kemudian sujud sahwi sebelum salam dan setelah itu ia memberi salam.
Contohnya:
Apabila ia sholat Dzuhur dan ragu pada raka`at ke 2 (dua), apakah ini masih berada di raka`at ke 2 (dua) atau sudah ke 3 (tiga) dan ia tidak mampu menentukan yang paling rojih (benar) diantara keduanya maka ia harus memilih yang 2 (dua) raka`at (jumlah terkecil). Kemudian ia sempurnakan sisanya lalu sujud sahwi (dua kali sujud) sebelum salam kemudian setelah itu memberi salam.

[Kasus 5].
Apabila seseorang ragu dalam sholatnya, apakah telah 2 (dua) raka`at atau sudah 3 (tiga) raka`at, namun walaupun demikian, ternyata ia MAMPU untuk menentukan yang paling rojih (benar), maka ia harus membangun diatas yang diyakininya itu (apakah yang 2 raka`at ataupun yang 3 raka`at) kemudian ia sempurnakan hingga salam lalu ia sujud sahwi kemudian salam kembali.
Contohnya:
Apabila seseorang sholat Dzuhur, kemudian ia ragu pada raka`at ke 2; apakah ia masih dalam raka`at ke 2 atau sudah masuk raka`at ke 3. Namun kemudian timbul keyakinan yang kuat dalam hatinya bahwa ia berada pada raka`at ke 3 maka ia harus membangun sholatnya di atas keyakinannya itu (raka`at ke 3) lalu ia sempurnakan sholatnya hingga salam, kemudian ia sujud sahwi untuk selanjutnya salam kembali.
# Apabila keraguan datang kembali setelah ia selesai dari sholatnya, maka itu tidak dianggap atau ia tidak perlu memperdulikannya kecuali ia yakin sekali.
# Apabila ia sering ragu, maka keraguannya itu tidak dianggap atau ia tidak perlu memperdulikannya, karena itu hanyalah merupakan rasa was-was (dari syaiton).

Demikian penjelasan tentang sujud sahwi. Semoga bermanfaat dan selamat menjalankan sunnah ini.~

سبحانك اللهم وبحمدك
أشهد أن لا إله إلا أنت
أستغفرك وأتوب إليك
Sumber: dikutip dari Kitab “RASAAI’IL FII AL~WUDHU’ WAL GHUSLI WA ASH~SHOLAH”
Penulis: Syaikh Muhammad Ibnu Sholih Al~’Utsaimin Rahimahullahu Ta`ala
Halaman: 36, 37, 38
Diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia oleh: Al Akh Dzakwan


(http://thullabul-ilmiy.or.id )
Baca lagi...

Selasa, 12 Juli 2011

Pendaftaran Mahasiswa Universitas Islam Madinah 1432 H/ 2011 M


Belajar Islam merupakan suatu nikmat yang agung,olehnya itu setiap orang yang telah terpilih oleh Allah untuk mendalami Agama sepatutnya senantiasa memanjatkan syukur yang sebanyak-banyaknya kepada Allah Azza wa Jalla. Apatah Lagi ketika seseorang dapat mempelajari Islam Langsung dari sumbernya yaitu di Kota Rasulullah Saw Yakni Al Madinatul Munawwarah dan Insyah Allah bagi antum yang ingin kuliah di sana dan ingin medapatkan beasiswa ke UIM maka informasi ini mungkin bermanfaat.


berikut informasi pendaftaran Calon Mahasiswa Mahasiswa Universitas Islam Madinah (UIM) :
Persyaratan Umum:
1. Beragama Islam dan berkelakuan baik.
2. Komitmen mentaati aturan UIM.
3. Sehat jasmani.
4. Lulus ujian atau muqabalah yang dilakukan pihak UIM.
5. Memiliki ijazah dari sekolah negeri atau swasta yang mendapat akreditasi (mu’adalah) dari UIM. Berarti, ijazah dari sekolah negeri di Indonesia tidak perlu akreditasi.
6. Siap belajar sepenuhnya.
7. Memenuhi setiap persyaratan yang mungkin ditentukan UIM saat mengajukan permohonan beasiswa.

Persyaratan masuk program S1:

1. Memiliki ijazah SMA atau sederajat.
2. Usia ijazah tidak lebih dari 5 tahun.
3. Tidak pernah drop out (DO) dari universitas lain karena sebab akademis atau hukuman.
4. Usia pemohon beasiswa tidak lebih dari 25 tahun.
5. Peminat Fakultas Quran harus memiliki hafalan 30 juz.

Berkas yang diperlukan:

1. Ijazah.
2. Daftar nilai ijazah / rapor tahun terakhir.
3. Syahadah husn sirah wa suluk (surat keterangan berkelakuan baik), diutamakan dari sekolah asal. SKCK dari kepolisian juga bisa dipakai.
4. Akte kelahiran dari instansi terkait.
5. Surat keterangan sehat dari penyakit menular, dikeluarkan oleh instansi resmi.
6. 6 lembar pasfoto ukuran 4 x 6.
7. Tazkiyah (rekomendasi) dari dari 1 lembaga keislaman di negara asal, atau dari 2 tokoh agama yang dikenal, berisi keterangan komitmen menjalankan kewajiban agama dan berpegang kepada adab-adab Islam.

dari sumber langsung di http://admission.iu.edu.sa/StartIu.aspx

1. Ijazah SMU.
2. Transkrip nilai dari jenjang SMU.
3. Sertifikat berkelakuan baik.
4. Akte kelahiran.
5. Paspor.
6. KTP.
7. Foto berwarna terbaru ukuran 4×6.
8. Foto dengan tanpa kacamata, tanpa penutup kepala, dan dengan background putih.
9. Laporan medis dari klinik kesehatan resmi, yang menyatakan sehat panca indra dan bebas dari penyakit menular
10. Surat keterangan dari Lembaga Islam di negara asal atau dari dua Tokoh Islam, yang menjelaskan bahwa calon mahasiswa adalah Muslim yang menjaga shalat lima waktu dan berakhlak mulia.
11. Sertifikat masuk Islam, bagi yang Islamnya tidak dari lahir.
- Pemohon harus menerjemahkan semua dokumen yg tidak berbahasa arab dengan terjemahan bahasa arab yg telah disahkan oleh kantor penerjemah resmi.
- Jika diterima, calon mahasiswa harus mendatangkan dokumen asli yang telah disahkan oleh Kedutaan Besar Arab Saudi di negara asalnya. Jika Kedutaan Besar Arab Saudi tidak ada di negaranya, maka semua dokumen bisa disahkan di lembaga manapun yang diakui oleh Universitas Islam Madinah.
- Jika ada kesalahan pada data-data inti pemohon dalam dokumen asli (seperti: nama, tempat, dan tanggal lahir), maka diharapkan membenarkan semua kesalahan tersebut di lembaga yang berwenang di negaranya, sebelum mengirimnya ke Universitas, karena aturan di kampus melarang perubahan data-data inti setelah menerima calon mahasiswa.

* Catatan: Saat pengajuan permohonan beasiswa, cukup dengan menyerahkan fotokopi berkas yang diperlukan. Diwajibkan menyertakan fotokopi paspor dan visa bagi yang datang langsung ke kampus UIM, dan diutamakan menyertakan fotokopi paspor bagi yang lain.
Peringatan
Permohonan tidak dapat dikirim tanpa melampirkan salinan dokumen
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon beasiswa
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon beasiswa:
1. Berkelakuan baik.
2. Berjanji untuk mentaati semua Peraturan Universitas.
3. Lulus tes kesehatan.
4. Lulus tes yang diadakan oleh otoritas yang bersangkutan.
5. Memiliki ijazah SMU atau yang setara dengannya dari dalam Saudi ataupun dari luar Saudi.
6. Ijazah SMU harus dikeluarkan oleh Sekolah Negeri atau sekolah yang telah diakui oleh Universitas Islam Madinah.
7. Berkomitmen fokus penuh untuk belajar.
8. Masa lulus dari SMU tidak lebih dari lima tahun.
9. Usia tidak melebihi 25 tahun ketika memulai belajar di Universitas Islam Madinah.
10. Bagi yang ingin kuliah di Fakultas Al-Qur’an harus sudah hafal Al-Qur’an 30 juz.
11. Melengkapi persyaratan-persyaratan lain yang ditentukan oleh Dewan Universitas Islam Madinah yang diumumkan saat pendaftaran.
12. Bagi pemohon yg Ijazah SMU-nya dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Kerajaan Saudi Arabia, ia harus memiliki sertifikat lulus uji kemampuan.
Peringatan
1. Tidak ada kantor perwakilan atau agen untuk menerima permohonan pendaftaran di Universitas Islam Madinah di negara manapun.
2. Calon mahasiswa harus melakukan proses pendaftaran sendiri, dan bertanggung jawab untuk menjaga nomor-nomor yang diberikan kepadanya saat selesainya proses pendaftaran.
3. Universitas Islam Madinah adalah lembaga ilmiah dan pengetahuan yang dirancang untuk menyampaikan Risalah Islam melalui dakwah, pendidikan sarjana, pascasarjana, penulisan karya ilmiah, penerjemahan dan penyebarluasannya, serta menjaga Warisan-warisan Islam.
4. Bahasa pengantar di Universitas Islam Madinah adalah bahasa Arab.
5. Universitas Islam Madinah tidak berkewajiban meluluskan setiap pemohon yg mendaftar, hingga ada pemberitahuan secara tertulis dari pihak kampus.
6. Data-data yg dimasukkan tidak akan diakui, kecuali jika dilengkapi dengan dokumen-dokumen yg membuktikan informasi tersebut.
7. Pemohon dengan dokumen palsu akan dikenakan sangsi dan akan dibatalkan penerimaannya.
8. Universitas Islam Madinah berhak menentukan fakultas mahasiswa yang diterima setelah kedatangannya, sesuai dengan peraturan yg berlaku.
9. Mahasiswa yang diterima di Universitas Islam Madinah bisa mendapatkan nomor tiketnya via internet, di website Universitas Islam Madinah, kemudian merujuk ke kantor penerbangan (airlines).
10. Mahasiswa yang diterima bertanggung jawab untuk mencari dan mengikuti info tentang sistem dan aturan studi, di papan-papan pengumuman yg disediakan oleh kampus.
11. Semua perjanjian, persetujuan, dan peringatan yang terdapat di dalam file elektronik ini akan mengikat pemohon sebagaimana file kertas lainnya. Pemohon juga bertanggung jawab sendiri untuk mengeceknya secara berkala dengan menggunakan username dan password pribadinya. Hal ini juga berlaku pada semua transaksi elektronik yg dilakukan oleh pemohon dengan menggunakan username pribadinya.
12. Semua perjanjian, persetujuan, dan syarat-syarat yg dibaca dan disetujui oleh pemohon saat pendaftaran ini, akan dimasukkan ke dalam berkas-berkas miliknya dg menggunakan bahasa arab.

Prosedur pengajuan beasiswa

Ada tiga cara yang bisa ditempuh untuk mengajukan permohonan beasiswa, yaitu:

1. Muqabalah (interview langsung). Cara ini bisa dilakukan di dua tempat:

Kampus Universitas Islam Madinah.
Tempat penyelenggaraan daurah tahunan di Indonesia. Sejak 2003, daurah tahunan ini tidak diselenggarakan lagi, dan insyaallah mulai tahun ini akan diadakan lagi. Informasi daurah di Indonesia tahun ini bisa diperoleh secara tidak resmi di: http://serambimadinah.com/

2. Murasalah, yaitu dengan mengirim berkas yang diperlukan ke:

عمادة القبول والتسجيل، الجامعة الإسلامية بالمدينة المنورة، ص. ب. 170، المملكة العربية السعودية.

atau: Deanship of Admission and Registration, Islamic University of Madinah, PO Box 170, Kingdom of Saudi Arabia.

3. Pendaftaran online, di: http://admission.iu.edu.sa/Default.aspx

Bagi ikhwah yang ingin mendownload Formulir silahkan klik Attachments dibawah ini.
Attachments: File File size
Download this file (hal1.jpg)hal1.jpg 2729 Kb
Download this file (hal2.jpg)hal2.jpg 2465 Kb
Download this file (hal3.jpg)hal3.jpg 2568 Kb
Download this file (hal4.jpg)hal4.jpg 2807 Kb

skrinsut formulir pengisian pendaftaran online Universitas Islam Madinah yang kami ambil dari situs resminya di http://admission.iu.edu.sa/PersonalInfo.aspx

Sekilas tentang Universitas Islam Madinah

Universitas Islam Madinah (al-Jami’ah al-Islamiyyah bil Madinah al-Munawwarah)didirikan pada tanggal 25-3-1381 H (6-9-1961), yaitu pada masa pemerintahan Raja Su’ud bin Abdul Aziz Alu Su’ud.

Rektor pertamanya adalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim (Mufti Kerajaan Saudi Arabia), kemudian Syaikh Abdul Aziz Bin Baz (Mufti Kerajaan Saudi Arabia), dan saat ini dipimpin oleh Prof. Dr. Muhammad bin Ali al-’Uqla.

Kurikulumnya digodok oleh para ulama terkemuka dunia Islam, dan saat ini memiliki lima fakultas, yaitu:

1. Fakultas Syariah.

2. Fakultas Dakwah dan Ushuluddin.

3. Fakultas Quran dan Dirasat Islamiyyah.

4. Fakultas Hadits dan Dirasat Islamiyyah.

5. Fakultas Bahasa Arab.

UIM juga membawahi tiga sekolah setingkat SMP dan tiga sekolah setingkat SMA. Menurut buletin Akhbarul Jami’ah, UIM merencanakan untuk merintis fakultas ilmu-ilmu umum dan membuka kampus khusus mahasiswi.

Universitas Islam Madinah merupakan hadiah dari pemerintah Kerajaan Saudi Arabia untuk para pemuda Islam di seluruh penjuru dunia. Hingga tahun 1429 H (2008 M), universitas ini telah meluluskan 20.385 sarjana S1 dari 147 negara, 74 %-nya dari luar Saudi, serta 968 master dan 621 doktor, 47 %-nya dari luar Saudi. Untuk Indonesia secara khusus, UIM telah menelurkan 828 sarjana S1, 19 master, dan 8 doktor.

Bentuk beasiswa

Bentuk beasiswa yang ditawarkan adalah menyelesaikan program S1 tanpa dipungut biaya. Bagi yang belum siap bisa mengikuti program bahasa 1-2 tahun, dan bagi yang berminat, terbuka kesempatan untuk meneruskan hingga program S3. Disamping itu, ada banyak fasilitas yang diberikan kepada mahasiswa yang diterima, antara lain:

1. Kesempatan tinggal di tanah haram dan belajar kepada ulama Haramain.
2. Kesempatan menjalankan ibadah haji dan umrah.
3. Tiket keberangkatan dari negara asal sampai Madinah.
4. Tiket PP ke negara asal setiap liburan akhir tahun.
5. Mukafaah (tunjangan bulanan) yang cukup, sehingga bisa lepas dari tanggungan orang tua.
6. Badal kutub (tunjangan pembelian kitab) setiap tahun.
7. Badal imtiyaz (insentif untuk peraih predikat mumtaz/cum laude) setiap tahun.
8. Badal thiba’ah (tunjangan pencetakan tesis dan desertasi)
9. Asrama yang nyaman dan kondusif.
10. Pelayanan kesehatan di rumah sakit kampus.
11. Transportasi antar jemput dari kampus ke Masjid Nabawi setiap hari

Sumber : http://serambimadinah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=100:nantikan-daurah-universitas-islam-madinah-tahun-1432-h&catid=45:info&Itemid=57

NB:
Artikel ini hanya merupakan penyampai informasi jadi bagi yang ingin bertanya jangan di forum ini tapi bisa di website ini http://www.serambimadinah.com syukran... semoga bermanfaat Aminnn...
Baca lagi...

Jumat, 08 Juli 2011

Luruskan Shaf Ketka shalat Berjamaah

Saudaraku, ajaran Islam memang benar-benar sempurna dan lengkap. Sedemikian lengkapnya sehingga soal bagaimana melaksanakan sholat berjamaahpun diatur di dalamnya. Pernah diriwayatkan bahwa para sahabat langsung diajarkan oleh Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam agar di dalam barisan sholat berjamaah senantiasa dipastikan lurus dan rapatnya. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bahkan memberikan ancaman berupa akibat yang akan ditimbulkan bilamana shaf dibiarkan tidak lurus

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوفَنَا

حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّي بِهَا الْقِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ

ثُمَّ خَرَجَ يَوْمًا فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ فَرَأَى رَجُلًا

بَادِيًا صَدْرُهُ مِنْ الصَّفِّ فَقَالَ عِبَادَ اللَّهِ

لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ

Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam selalu meluruskan shaf kami, sehingga beliau seolah-oleh meratakan anak panah sehingga beliau melihat bahwa kami telah memahaminya. Kemudian suatu hari beliau keluar (untuk menunaikan sholat), lalu berdiri hingga ketika hampir mengucapkan takbir, beliau melihat seorang lelaki dadanya keluar (menonjol) dari shaf, maka beliau bersabda: “”Hai hamba-hamba Allah, kalian benar-benar meluruskan shaf kalian (jika tidak) Allah akan (menimbulkan perselisihan) di antara wajah-wajah kalian.” (HR Muslim dan Ahmad)

Berdasarkan hadits di atas, jelas Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memperingatkan kemungkinan terjadinya perselisihan antara wajah-wajah para sahabat jika mereka mengabaikan lurusnya shaf Perselisihan antara wajah dapat juga diartikan sebagai munculnya perbedaan cara pandang dalam berbagai masalah kehidupan. Secara jangka panjang hal ini dapat mengakibatkan terjadinya perpecahan di tengah tubuh ummat Islam. Saudaraku, jika kita mau jujur, persoalan kerapihan shaf sholat berjamaah di banyak masjid di negeri kita tampaknya sudah kronis. Mungkinkah ini yang menyebabkan sulitnya kita ummat Islam dapat bersatu menghadapi musuh-musuh Islam dewasa ini?

Perlu disadari juga bahwa lurusnya shaf sangat mempengaruhi ke-afdhol-an sholat berjamaah yang kita lakukan dalam penilaian Allah. Sehingga Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam sampai bersabda:

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ

“Luruskanlah shaf kalian, karena meluruskan shaf termasuk tegaknya sholat.” (HR Bukhary)

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ

“Luruskanlah shaf kalian, karena meluruskan shaf termasuk kesempurnaan sholat.” (HR Ibnu Majah)

Maka saudaraku, marilah kita senantiasa memastikan bahwa saat kita hadir dalam sholat berjamaah –apalagi jika kita menjadi Imam sholatnya- kita senantiasa menegakkan sholat tersebut sesuai arahan dan bimbingan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Kita pastikan bahwa shaf-shaf sholat berjamaah kita selalu berada dalam keadaan lurus dan rapat. Konon menurut suatu riwayat Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu sangat tegas dalam masalah ini sehingga beliau pernah meluruskan shaf barisan sholat berjamaah dengan menggunakan pedangnya...! Oleh karenanya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam pernah menyuruh para sahabat agar berbaris sebagaimana berbarisnya para malaikat secara teratur di hadapan Allah. Sehingga para sahabat heran dan bertanya seperti apakah barisan para malaikat di hadapan Allah itu?

أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَلَّ وَعَزَّ

قُلْنَا وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهِمْ

قَالَ يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْمُقَدَّمَةَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ

“Tidakkah kalian berbaris sebagaimana berbarisnya para malaikat (dengan rapih) di hadapan Rabb mereka?” Maka kami bertanya: ”Ya Rasulullah, bagaimanakah berbarisnya para malaikat di hadapan Rabb mereka?” Beliau bersabda: “Mereka menyempurnakan shaf-shaf pertama dan merapatkan shaf.” (HR Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

Pada kesempatan lain Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam pernah memperingatkan para sahabat agar menutup celah-celah di antara shaf sholat berjamaah mereka dengan saling berdekatan satu sama lain antara mereka. Sebab bilamana celah-celah tersebut dibiarkan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam dapat melihat –dengan izin Allah- syetan menyelinap di dalam barisan orang-orang yang sholat berjamaah laksana anak-anak kambing...!

رُصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالْأَعْنَاقِ

فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَرَى الشَّيْطَانَ

يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ

“Rapatkanlah shaf-shaf kalian, saling berdekatanlah, dan luruskanlah dengan leher-leher (kalian), karena demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggamannya, sesungguhnya aku melihat setan masuk dari celah-celah shaf seakan-akan dia adalah kambing kecil.” (HR Abu Dawud)

Saudaraku, jika kita merujuk kepada hadits di atas lalu kita kaitkan dengan realita sholat berjamaah ummat Islam kebanyakan, maka kita sangat khawatir sudah berapa banyak syetan yang berseliweran meramaikan barisan sholat berjamaah kaum muslimin di masyarakat kita selama ini…! Tidak mengherankan bilamana sholat kita selama ini tidak terlalu jelas memberikan nilai tambah bagi hadirnya akhlak mulia. Padahal Allah menjamin bahwa sholat seseorang pasti mencegah dirinya dari berbuat keji dan mungkar. Jangan-jangan inilah di antara faktor utamanya...!

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

”... dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS Al-Ankabut ayat 45)

Kadang kita malah menjumpai kenyataan dimana saat kita berkeinginan untuk merapatkan shaf dengan mendekatkan diri kepada tetangga sholat kita, malah saudara kita itu malah menjauhkan badannya dari kita. Sehingga shaf tidak kunjung rapat, selalu saja ada celah-celah di antara orang-orang yang sholat. Memang ini semua memerlukan edukasi ummat secara massif agar kita semua dapat benar-benar meraih sholat yang berbuah akhlaqul karimah. Inilah yang dikhawatirkan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam dalam salah satu hadits beliau. Bilamana seseorang memutuskan shaf sholat, maka sama saja ia mengundang diputusnya rahmat Allah atas dirinya.Sebaliknya bila seseorang menyambung shaf sholat yang tadinya terputus justeru dia akan memperoleh sambungan rahmat Allah atas dirinya.

مَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Barangsiapa menyambung suatu shaf, niscaya Allah menyambungnya (dengan rahmatNya). Dan barangsiapa yang memutuskan suatu shaf, niscaya Allah memutuskannya (dari rahmatNya).” (HR An-Nasai)

Ya Allah, rahmatilah kami semua dengan sebab rapihnya, lurusnya dan rapatnya shof sholat berjamaah kami. Ya Allah, terimalah selalu segenap ’amal sholeh dan ’amal ibadah kami semua. Amin ya Rabb.-


Sumber : http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot/pentingnya-meluruskan-dan-merapatkan-shaf-ketika-sholat-berjamaah.htm
Baca lagi...